GIGO
Garbage In Garbage Out, begitu katanya kalau mendengar kasus anak jadi jahat karena diberikan asupan harta yang ḥarōm oleh orangtua (ortu)nya.
Awalnya saya tak bisa menerima pendapat tersebut, sebab bukankah si anak tak salah? Bukan maunya si anak ia dilahirkan dari pasangan ortu yang buruk, lantas kenapa ia harus menanggung keburukan ortunya juga?
Namun lama-lama, saya menyaksikan dalam hidup ini ternyata banyak orang yang dibesarkan dengan harta ḥarōm, memang akan jadi buruk juga… jadi pelaku kemaksiyatan & keẓōliman. Ya lihat saja ketika bapaknya koruptor, maka anaknya tukang aniaya orang. Atau bapaknya kerjanya menghina ṡuhadā’ & ùlamā’, maka anaknya walau disekolahkan di pesantren pun tetap saja pacaran melampaui batas.
Pertanyaannya bagaimana bisa begitu?
Jawabannya sebenarnya ada di dalam agama kita.
Perkara pertama yaitu: "ortu", sebagaimana yang dinyatakan dalam ḥadīṫ mulia:
كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
(arti) _“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fiṭrōh. Kemudian kedua orangtuanya lah yang akan menjadikan anak itu menjadi Yahūdi, atau Naṣrōnī, atau Majūsi.”_ [HR al-Buḳōrī no 1385, 4775, 6599-600; Muslim no 2658; Abū Dāwūd no 4714; at-Tirmiżī no 2138; Aḥmad no 6884, 7387, 7463, 7832, 8739, 8949; Mālik no 580].
Jadi bukan sekadar soal asupan, tidak. Akan tetapi apa yang diajarkan & dicontohkan oleh ortunya.
Anak bisa saja disekolahkan di sekolah yang mengajarkan adab & kesantunan, namun begitu ia pulang ke rumah, yang ia saksikan dari perilaku ortunya tak baik, atau pembiaran oleh ortunya terhadap perbuatan buruk, maka ya susah lah…
Anak di sekolah diajarkan mengaji, menutup aurot, adab & kesantunan yang baik, akan tetapi saat di rumah yang disaksikan dari ortunya adalah berpakaian tapi telanjang, berperilaku kasar & jauh dari agama, biasa mengkonsumsi żat yang ḥarōm serta meminum ḳomr, bahkan ortunya tak ṣolāt, let alone mengaji, maka tentunya perilaku buruk itu yang akan dicontoh oleh si anak, bukan?
Belum lagi soal pengawasan, karena ortu yang tak peduli dengan harta yang ḥarōm biasanya akan lemah pula dalam pengawasan terhadap anak-anaknya.
Jadi walau anak dimasukkan di sekolah bagus, banyak pengajaran agama, aḳlāq & adab, akan tetapi kalau di rumah tak dicontohkan kebaikan, tak diteladankan kesantunan, kemudian tiada pengawasan yang baik, maka apa yang diterima di sekolah takkan cukup. Sebab sekola ṣifatnya sebenarnya hanyalah tambahan, adapun rumah adalah madrosah yang utama.
Karena si anak itu tak mendapatkan pendidikan karakter yang baik dari kedua ortunya, maka ini berlanjut kepada perkara berikutnya…
Perkara kedua: "lingkungan pertemanan", sebagaimana dinyatakan dalam ḥadīṫ mulia:
ٱلرَّجُلُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُر أَحَدُكُم مَنْ يُخَالِل
(arti) _“Seseorang itu tergantung pada agama temannya, oleh karena itu hendaklah seseorang di antara kalian memperhatikan siapa yang ia jadikan temannya.”_ [HR Abū Dāwūd no 4833; at-Tirmiżī no 2378; Aḥmad no 7685, 8065].
Anak yang dibesarkan dengan bergelimang harta, tak mendapatkan pendidikan nilai-nilai agama, adab & kesantunan yang baik, serta minim pengawasan, maka tentunya akan tumbuh jadi pribadi-pribadi berkarakter buruk dengan trait seperti: meremehkan orang, mau menang sendiri, bossy, kasar, dlsb. Teman-teman yang mendekatinya atau didekatinya, tentunya teman-teman yang cocok pula dengan karakter kepribadian yang seperti itu.
Di dalam sebuah ḥadīṫ mulia dikatakan:
ٱلأَرْوَاحُ جُنُودٌ مُجَنَّدَةٌ فَمَا تَعَارَفَ مِنْهَا ائْتَلَفَ وَمَا تَنَاكَرَ مِنْهَا اخْتَلَفَ
(arti) _“Rūh-rūh itu bagaikan pasukan perang yang sedang menyusun barisan. Apabila mereka saling mengenal, maka mereka mendekat, dan jika saling tidak mengenal maka akan saling menjauhi.”_ [HR al-Buḳōrī no 3336; Muslim no 2637; Abū Dāwūd no 4834; Aḥmad no 7594, 10404].
Walaupun manusia itu terfiṭroh dengan kuat di atas kebaikan, namun ia takkan bisa lepas dari taqdir-Nya.
Apabila di dalam ìlmu Allōh ﷻ seseorang itu termasuk golongan orang-orang yang berbahagia dan kebahagiaan inilah yang ditetapkan pada akhir hidupnya, maka Allōh ﷻ akan menyiapkan orang-orang yang akan menunjukinya kepada jalan kebaikan. Orang-orang itu akan mendorongnya di atas kebaikan dan terus-menerus membersamainya hingga ditutup umurnya di atas kebaikan.
Namun, apabila dalam ìlmu Allōh ﷻ seseorang termasuk dalam golongan orang-orang yang celaka, maka Allōh ﷻ akan menggiring untuknya orang yang akan memalingkannya dari jalan kebaikan dan menyertainya pada jalan kejelekan. Orang-orang itu mendorongnya di atas kejelekan dan terus-menerus membersamainya hingga ditutup umurnya di atas kejelekan.
Namun…
Bukan tak mungkin seorang anak yang terlahir dari ortu yang tak baik, namun kepribadian & karakternya baik. Anak itu mengaplikasikan ìlmu yang dipahami dengan benar, ia memakai hati nurani & akalnya, ia bertekad untuk menjadi orang baik tak seperti ortunya, lalu ia mencari lingkungan pergaulan yang positif, maka ia bisa terlepas dari belenggu keburukan ortunya.
Tiada manusia yang tahu akhiran hidupnya itu bagaimana, tugas manusia hanyalah berusaha & beràmal dengan sebaik-baiknya.
Kata Baginda Nabī ﷺ saat ditanyakan bagaimana menyikapi taqdir kalau seseorang itu sudah ditentukan akhirannya di Syurga atau di Neraka:
مَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ السَّعَادَةِ فَسَيَصِيرُ إِلَى عَمَلِ أَهْلِ السَّعَادَةِ وَمَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الشَّقَاوَةِ فَسَيَصِيرُ إِلَى عَمَلِ أَهْلِ الشَّقَاوَةِ … اعْمَلُوا فَكُلٌّ مُيَسَّرٌ أَمَّا أَهْلُ السَّعَادَةِ فَيُيَسَّرُونَ لِعَمَلِ أَهْلِ السَّعَادَةِ وَأَمَّا أَهْلُ الشَّقَاوَةِ فَيُيَسَّرُونَ لِعَمَلِ أَهْلِ الشَّقَاوَةِ
(arti) _“Siapa saja yang termasuk dalam golongan orang-orang yang beruntung, maka ia pasti akan mengerjakan àmal perbuatan orang-orang yang beruntung. Sebaliknya siapa saja yang termasuk dalam golongan orang-orang yang sengsara, maka ia pasti akan mengerjakan àmal perbuatan orang-orang yang sengsara. … Beràmal lah! Karena masing-masing telah dipermudah untuk berbuat sesuai dengan ketentuan sengsara dan bahagianya. Orang yang termasuk dalam golongan orang-orang yang berbahagia akan dimudahkan untuk mengerjakan àmal perbuatan orang-orang yang beruntung, dan orang yang termasuk dalam golongan orang-orang yang sengsara akan dimudahkan untuk mengerjakan àmal perbuatan orang-orang yang sengsara.”_ [HR Muslim no 2647].
Jadi beràmal lah dengan àmalan yang baik, mudah-mudahan Allōh ﷻ memberikan hidayah-Nya.
Kata Allōh ﷻ di dalam firman-Nya:
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ
(arti) _“Dan orang-orang yang berjihād untuk (mencari keriḍōan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sungguh-sungguh Allōh benar-benar bersama dengan orang-orang yang berbuat baik.”_ [QS al- Ànkabūt (29) ayat 69].
Demikian, semoga bermanfaat.
Komentar
Posting Komentar