Mengurai Salah Paham Tentang Meluruskan & Merapatkan Shoff

Awalnya, kami ingin menyusun artikel tentang permasalahan "meluruskan dan merapatkan shoff" secara luas dan detail. Akan tetapi, karena telah ada beberapa penulis yang menyusunnya, maka niat tersebut kami urungkan. Kali ini kami hanya akan fokus untuk membahas kekeliruan dalam hal memahami dan mengamalkan hadîts-hadîts tentang merapatkan dan meluruskan shoff saja, dikarenakan masih sangat sedikit yang membahasnya.

Telah dimaklumi bersama, bahwa sebagian saudara-saudara kita, mempraktekkan hadîts-hadîts tentang merapatkan shoff dengan cara menempelkan mata kaki dengan mata kaki dan bahu dengan bahu ketika mulia sholât. Bahkan ada kejadian-kejadian yang lebih dari itu, seperti: kondisi "mengangkang", "mengejar" kaki orang lain, dan "tarik baju orang" yang tidak menempelkan mata kakinya.

Insyâ’Allôh, kita akan bahas masalah ini secara obyektif dan adil. Tanpa ada niatan untuk menyudutkan atau ingin merendahkan pihak tertentu. Akan tetapi, hanya semata upaya untuk meluruskan suatu permasalahan yang telah berlangsung lama dan diyakini sebagai sesuatu yang benar.

Mereka yang berpendapat bahwa merapatkan shoff dengan cara menempelkan mata kaki dengan mata kaki dan bahu dengan bahu, berdalîl dengan beberapa hadîts.

Di antaranya hadîts dari Anas ibn Mâlik رضي الله عنه, beliau berkata bahwa Rosûlullôh صلى الله عليه و سلم bersabda:

أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ ، فَإِنِّي أَرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِي ، وَكَانَ أَحَدُنَا يُلْزِقُ مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ ، وَقَدَمَهُ بِقَدَمِهِ

(arti) _“Luruskan shoff-shoff kalian! Maka sesungguhnya aku melihat kalian dari belakang punggungku.” (Anas ibn Mâlik) Berkata: “Dan adalah salah satu dari kami melekatkan pundaknya dengan pundak sahabatnya, dan telapak kakinya dengan telapak kaki sahabatnya.”_ [ HR al-Bukhôrî no 725].

Hadîts ini bisa dijelaskan dari beberapa sisi:

⑴. Yang dimaksud dengan kata "melekatkan / menempelkan" pundak dengan pundak dan telapak kaki dengan telapak kaki, bukanlah makna hakiki. Akan tetapi suatu kata yang dimaksudkan untuk "penyangatan" saja, bukan benar-benar menempel antara mata kaki dan antara pundak.

Hal ini dijelaskan oleh al-Hâfizh Ibnu Hajar رحمه الله:

الْمُرَادُ بِذَلِكَ الْمُبَالَغَةُ فِي تَعْدِيلِ الصَّفِّ وَسَدِّ خَلَلِهِ

(arti) “Yang diinginkan dengan hal itu: berlebihan / penyangatan dalam meluruskan shoff dan menutup (mengisi) celah-celahnya (yang masih kosong).” [lihat: Fath-ul-Bâri 2/211].

Jadi, makna hadîts di atas, para Shohâbat berusaha untuk merealisasikan perintah Nabî untuk meluruskan dan merapatkan shoff dengan sangat baik, sampai "seolah-olah" mereka menempelkan mata kaki dan pundak mereka dikarenakan sangat rapatnya. Bukan berarti benar-benar menempel. Ini salah satu uslub bahasa ‘Arab yang dimaklumi oleh siapapun yang telah mempelajarinya.

Dalam bahasa Indonesia pun ada hal seperti ini. Misalnya ketika kita mau dimintai pinjam uang oleh teman kita, maka kita akan menjawab: "Ma'af, saya lagi tidak punya uang". Jawaban ini bukan berarti kita tidak punya uang sama sekali, akan tetapi maksudnya, kita punya uang cuma sedikit, "seolah-olah" tidak punya uang. Atau kalau kita sebagai seorang ustâdz, lalu kita bicara kepada hadirin: "Mohon duduknya merapat!". Bukan berarti harus sampai menempel kaki dan badan mereka. Kalau demikian, nanti malah tidak bisa atau minimal terganggu saat mau menulis, di samping juga ada rasa risi tentunya.

Ternyata, pemahaman al-Hâfizh Ibnu Hajar رحمه الله terhadap hadîts di atas merupakan pemahaman Aimatul Arba‘ah (Imâm Madzhab yang empat, yaitu: Abû Hanifah, Mâlik ibn Anas, asy-Syâfi‘î, dan Ahmad ibn Hanbal). Seperti apa yang telah dinyatakan oleh Imâm Muhammad Anwar Syah al-Kasymiri al-Hindi رحمه الله (w 1353 H):

قال الحافظ : المراد بذلك المبالغة في تعديل الصفِّ وسدِّ خلله . قلتُ : وهو مراده عند الفقهاء الأربعة

(arti) “Al-Hâfizh Ibnu Hajar berkata: "Yang diinginkan dengan hal itu, berlebihan / penyangatan dalam meluruskan shoff dan menutup (mengisi) celah-celahnya (yang masih kosong).” Aku (Al-Kasymiri) berkata: “DAN INILAH (MAKNA) YANG DIINGINKAN OLEH PARA IMÂM YANG EMPAT.” [lihat: Faidh-ul-Bâri ‘alâ Shohîh al-Bukhôrî 2/302].

Jika imâm madzhab yang empat saja TELAH SEPAKAT memahami demikian, maka pemahaman yang keluar darinya, berarti telah menyelisihi pendapat yang disepakati oleh mereka. Dan seperti ini, dikategorikan oleh Imaam al-Qorofi رحمه الله "seperti menyelisihi" ijma’ (konsensus ‘ulamâ’). Artinya, kesepakatan mereka memiliki kedudukan yang sangat kuat, hampir-hampir mendekati ijma’. Sehingga sangat tercela jika ada yang menyelisihinya!

Imâm Ibnu Rojab al-Hanbali رحمه الله berkata:

وحديث أنس هذا يدل على أن تسوية الصفوف : محاذاة المناكب و الأقدام

(arti) “Hadîts Anas ini menunjukkan, sesungguhnya meluruskan shoff itu (maksudnya): pundak dan kaki setentang / sejajar (bukan menempelnya yang diinginkan).” [lihat: Fath-ul-Bâri 6/282].

Seorang ‘alim Salafiy, asy-Syaikh Muhammad ibn Shôlih al-‘Utsaimîn رحمه الله juga menjelaskan sebagaimana yang dipahami oleh para imâm yang telah berlalu penyebutannya. Bahkan beliau menambahkan, bahwa penempelan mata kaki dengan mata kaki dan pundak dengan pundak itu hanya sarana (alat ukur) untuk menentukan kelurusan dan kerapatan shoff saja. Begitu sudah lurus, tidak ditempelkan lagi. Kemudian shalat baru dimulai.

Beliau رحمه الله berkata:

الصحابة -رضي الله عنهم- فإنهم كانا يسوون الصفوف بإلصاق الكعبين بعضهما ببعض ، أي أن كل واحد منهم يلصق كعبه بكعب جاره لتحقق المحاذاة وتسوية الصف ، فهو ليس مقصوداً لذاته لكنه مقصود لغيره كما ذكر بعض أهل العلم، ولهذا إذا تمت الصفوف وقام الناس ينبغي لكل واحد أن يلصق كعبه بكعب صاحبه لتحقق المساواة ، وليس معنى ذلك أن يلازم هذا الإلصاق ويبقى ملازماً له في جميع الصلاة

(arti) “Para Shohâbat sesungguhnya mereka meluruskan shoff dan melekatkan dua mata kaki sebagian mereka dengan sebagian yang lain, ARTINYA: sesungguhnya tiap satu dari mereka melekatkan mata kaki dengan mata kaki orang di sampingnya UNTUK MEWUJUDKAN  KESETENTANGAN DAN KELURUSAN SHOFF. Dan ini (melekatkan mata kaki dan pundak), bukanlah sesuatu yang dimaksudkan. Akan tetapi ia merupakan sesuatu yang dimaksudkan untuk (mewujudkan) sesuatu yang lain, sebagaimana hal ini telah disebutkan oleh para ‘ulamâ’. Oleh karena itu, jika shoff telah sempurna (penuh) dan manusia telah berdiri, seyogyanya setiap orang untuk menempelkan mata kakinya dengan mata kaki temannya untuk merealisasikan kelurusan (shoff). BUKANLAH HAL ITU BERMAKNA BAHWA SEORANG HARUS MENEMPELKAN(NYA) SECARA TERUS SEPANJANG SHOLÂTNYA.” [lihat: Fatâwa Arkanil-Islâm 312].

Pendekatan penjelasan asy-Syaikh رحمه الله di atas seperti ini. Di dalam baris berbaris, ada perintah dengan istilah "lencang kanan" atau "setengah lencang kanan". Dua perintah ini hanyalah "alat" untuk meluruskan dan merapatkan barisan. Nanti setelah lurus, maka tangan diturunkan. Bukan berarti tangan harus lencang terus. Ini perkara yang kita maklumi bersama.

Asy-Syaikh Bakr ibn ‘Abdullôh Abû Zaid رحمه الله berkata:

فهذا فَهْم الصحابي - رضي الله عنه - في التسوية : الاستقامة ، وسد الخلل ، لا الإِلزاق وإِلصاق المناكب والكعاب

(arti) “Makna ini (apa yang disampaikan Ibnu Hajar) merupakan pemahaman para Shohâbat رضي الله عنهم dalam meluruskan (shoff), yaitu: lurus dan menutup celah, bukan melekatkan dan menempelkan pundak dan mata kaki.” [lihat: Lâ Jadida fî Ahkamish-Sholât 12].

⑵. Bahkan, ‘amaliah sebagian orang yang melekatkan mata kaki dan pundak mereka dengan mata kaki dan pundak orang yang ada di samping kanan dan kiri mereka, termasuk perbuatan yang ghuluw (melampaui batas), takalluf (memaksakan diri), serta aneh!

Kenapa?

Karena tidak ada satupun dalîl yang menujukkan kepadanya, dan tidak ada ‘ulamâ’ –sejauh pengetahuan kami– yang memahami dan meng‘amalkan demikian.

Asy-Syaikh Muhammad ibn Shôlih al-‘Utsaimîn رحمه الله berkata:

ومن الغلو في هذه المسألة ما يفعله بعض الناس من كونه يلصق كعبه بكعب صاحبه ويفتح قدميه فيما بينهما حتى يكون بينه وبين جاره في المناكب فرجة فيخالف السنة في ذلك، والمقصود أن المناكب والأكعب تتساوى

(arti) “Termasuk perbuatan ghuluw (melampaui batas) dalam masalah ini (merapatkan dan meluruskan shoff) apa yang dilakukan oleh sebagian manusia, berupa melekatkan mata kakinya dengan mata kaki sahabatnya, dan membuka kedua kakinya (mengangkang) di antara keduanya, sehingga terjadi celah / jarak antara pundaknya dengan pundak temannya. Maka dia telah menyelisihi Sunnah dalam hal itu. Padahal yang dimaksud, pundak-pundak dan mata kaki-mata kaki itu bisa lurus (bukan melekatnya).” [lihat: Fatâwa Arkanil-Islâm 312].

Asy-Syaikh Bakr ibn ‘Abdullôh Abû Zaid رحمه الله berkata:

فإِن إِلزاق العنق بالعنق مستحيل ، وإِلزاق الكتف بالكتف في كل قيام ، تكلف ظاهر . وإِلزاق الركبة بالركبة مستحيل ، وإِلزاق الكعب بالكعب ، فيه من التعذر ، والتكلف

(arti) “Melekatkan pundak dengan pundak dalam setiap berdiri (ketika sholât) termasuk perbuatan takalluf (memberatkan diri) yang sangat jelas. Melekatkan lutut dengan lutut, perkara yang mustahil. Melekatkan mata kaki dengan mata kaki, di dalamya terdapat perkara yang sangat sulit (terwujud) dan memberatkan diri.” [lihat: Lâ Jadida fî Ahkamish-Sholât 11].

Asy-Syaikh Shôlih al-Fauzân حفظه الله berkata:

وليس معنى رص الصفوف ما يفعله بعض الجهال اليوم من فحج رجليه حتى يضايق من بجانبه ؛ لأن هذا العمل يوجد فرجا في الصفوف ، ويؤذي المصلين ، ولا أصل له في الشرع

(arti) “Bukanlah makna merekatkan shofff apa yang dilakukan oleh sebagian orang-orang bodoh di hari ini berupa perenggangan (mengangkang) kedua kakinya sampai menyempitkan orang yang di sisinya. Karena sesungguhnya ‘amalan ini akan didapatkan celah di dalam shofff, menganggu orang yang sholât, serta tidak ada asalnya dalam syari‘at.” [lihat: al-Mulakhosh al-Fiqhi 124].

⑶. Merapatkan shoff bukan berarti tanpa ada celah. Akan tetapi diperlukan celah untuk mendapatkan kenyamanan dalam melakukan gerakan-gerakan sholât. Di mana kadar celahnya tidak terlalu lebar, namun juga tidak sampai mepet / nempel. Celah yang dilarang itu jarak antara dua orang yang bershoff yang bisa diisi oleh satu orang atau lebih. Adapun jika kurang dari itu, maka ini dianjurkan.

Imâm Muhammad Anwar Syah al-Kasymiri al-Hindi رحمه الله menyatakan:

أي أن لا يَتْرُكَ في البين فرجةً تَسَعُ فيها ثالثًا . بقي الفصل بين الرجلين : ففي «شرح الوقاية» أنه يَفْصِلُ بينهما بقدر أربع أصابع ، وهو قول عند الشافعية ، وفي قولٍ آخر : قدر شبر

(arti) “Janganlah seorang meninggalkan celah / jarak di antara (dia dan orang yang di sampingnya) yang bisa digunakan untuk satu orang ketiga di antaranya. Telah tetap adanya jarak antara kedua kaki. Di dalam Syarh al-Wiqoyah: Sesungguhnya seorang menyela di antara keduanya seukuran EMPAT JARI. Ini merupakan pendapat asy-Syâfi‘îyyah. Dalam pendapat lain: satu jengkal.” [lihat: Faidh-ul-Bâri 2/302].

Jadi yang dimaksud dengan sabda Nabî  صلى الله عليه و سلم:

وسدوا الخلل ولا تذروا فرجات للشيطان

(arti) _“Tutuplah celah-celah dan jangan kalian tinggalkan celah-celah untuk Syaithôn.”_

Maksudnya, yang dilarang adalah meninggalkan celah yang bisa ditempati oleh satu orang. Bukan berarti tidak ada celah / jarak sama sekali. Seperti kalau Nabî memerintahkan kita untuk sholât di awal waktu, bukan berarti kita sudah harus takbiratul ihrom pas di detik pertama waktu sholât masuk. Tetapi ada jaraknya, untuk berpakaian, untuk wudhu’, dan juga berjalan ke Masjid. Ini perkara yang dimaklumi bersama. Simak ucapan Ibnu Daqiqil ‘Îd di dalam kitâbnya, al-Ihkam 2/38.

Hal ini didasarkan berbagai indikasi, di antaranya:

■ Kita diperintah untuk melembutkan diri dalam bershoff, dan hal itu takkan terwujud kecuali ada jarak di antara orang-orang yang sholât.

Sebagaimana dalam sebuah hadîts, Nabi صلى الله عليه و سلم bersabda:

خياركم أَلينكم مناكب في الصلاة

(arti) _“Sebaik-baik kalian adalah yang paling lunak / lembut pundaknya di dalam sholât.”_ [HR Abû Dâwud].

Menurut al-Khothobi رحمه الله, kalimat "paling lembut pundaknya" itu maknanya:

ومعناه لزوم السكينة في الصلاة ، والطمأْنينة فيها ، لا يلتفت ولا يحاك منكبه منكب صاحبه

(arti) “Terus menerus tenang dalam sholât, tidak menoleh, dan pundaknya tidak memotong (mengoyang) pundak orang lain.” [lihat: Ma‘alim Sunan lewat Lâ Jadida 14].

Menurut al-Munawi رحمه الله:

ولا يُحاشر منكبُهُ منكبَ صَاحِبه

(arti) “Pundaknya jangan sampai berdesakan dengan pundak sahabatnya.” [lihat: Faidh-ul-Qodir 3/466].

■ Dalam sebagian gerakan-gerakan sholât, sangat membutuhkan adanya jarak antara orang yang satu dengan yang lain, seperti mengangkat tangan ketika takbir, saat bersedekap, posisi tangan saat ruku’ dan sujud yang dijauhkan dari tubuh, saat duduk tasyahhud terkhusus ketika tasyahhud akhir dengan posisi tawwaru’.

Apakah bisa jika tidak ada jarak sama-sekali untuk kita meng‘amalkan hadîts Nabî yang memerintahkan kita untuk merengangkan atau menjauh tangan dari rusuk saat sujud misalkan?

Tidak bisa!

Oleh karena itu, standar jarak dalam bershoff, sebagaimana yang disebutkan dalam kitâb Bughyatul-Mustarsyidin 140:

وتعتبر المسافة في عرض الصفوف بما يهيأ للصلاة وهو ما يسعهم عادة مصطفين من غير إفراط في السعة والضيق

(arti) “Dan jarak yang dianggap (diakui) dalam lebar shoff-shoff dengan apa yang seseorang bisa mempersiapkan dan mengatur sholât. Dan ia adalah apa yang secara adat mencukupi mereka, orang-orang yang bershoff tanpa berlebihan dalam keluasan dan kesempitan.”

Adapun mengenai hadîts dari an-Nu‘man ibn al-Basyir رضي الله عنه yang berkata:

وَكَانَ أَحَدُنَا يُلْزِقُ مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ وَقَدَمَهُ بِقَدَمِهِ

(arti) “Aku melihat seorang dari kami melekatkan mata kakinya dengan mata kaki sahabatnya.”

Ucapan ini disebutkan oleh al-Bukhôrî di dalam Shohîh-nya (1/146) secara mu‘allaq di bawah bab: "Melekatkan Pundak Dengan Pundak, Dan Telapak Kaki Dengan Telapak Kaki Di Dalam Shoff” [lihat: al-Fath 2/122].

Maka ada beberapa jawaban:

» Pertama: jika memang tata cara merapatkan shoff dengan cara menempelkan mata kaki dengan mata kaki dan pundak dengan pundak, kenapa yang meng‘amalkan hanya "seorang" saja? Ke mana yang lain dari para Shohâbat? Padahal, para Shohâbat adalah generasi yang paling bersemangat dalam kebaikan dan Sunnah.

Bahkan di dalam Musnad al-Mushili (6/381) disebutkan bahwa perbuatan tersebut disempat dicela oleh Anas ibn Mâlik رضي الله عنه:

لَقَدْ رَأَيْتُ أَحَدَنَا يُلْزِقُ مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ وَقَدَمَهُ بِقَدَمِهِ ، وَلَوْ ذَهَبْتَ تَفْعَلُ ذَلِكَ الْيَوْمَ لَتَرَى أَحَدَهُمْ كَأَنَّهُ بَغْلٌ شَمُوسٌ

(arti) “Sungguh aku melihat salah satu dari kami melekatkan pundaknya dengan pundak sahabatnya, kakinya dengan kaki sahabatnya. Seandainya hari ini kami melakukan hal ini lagi, sungguh kamu akan melihat salah satu dari mereka seperti bighol (peranakan kuda dan keledai) yang menentang / melawan.”

» Kedua: makna melekatkan di situ bukan makna hakiki, akan tetapi makna majazi, artinya penyangatan dalam lurus dan rapat. Bukan benar-benar menempel.

» Ketiga: itu dilakukan hanya untuk wasilah (perantara) untuk meluruskan dan merapatkan shoff saja. Jika sudah lurus, maka tidak nempel lagi. Lihat keterangan sebelumnya dari ucapan asy-Syaikh Ibnu al-‘Utsaimîn رحمه الله.

⑷. ‘Amaliah merapatkan mata kaki dengan mata kaki dan pundak dengan pundak ketika bershoff, tidak mungkin akan konsisten. Karena jika konsisten, mereka harus melakukannya dalam seluruh keadaan ketika sholât, dari takbir pembukaan sampai salam. Dan ini perkara yang tidak mungkin terwujud seperti ketika posisi sujud, atau duduk di antara dua sujud, atau duduk tasyahhud (awal ataupun akhir), dan yang lainnya. Ini semua justru menjadi indikasi tambahan, bahwa dibutuhkan celah / jarak dalam bershoff.

⑸. Para ‘ulamâ’ kibâr di Sa‘ûdi pun tidak meng‘amalkan tata-cara merapatkan shoff sebagaimana yang di‘amalkan oleh sebagian kecil Muslimîn di Indonesia ini. Bisa disaksikan lewat video atau gambar. Tentunya ‘amaliah mereka didasarkan kepada ‘ilmu, dan bukan kejahilan.

⚫ Kesimpulan:

① Meluruskan dan merapatkan shoff dalam sholât adalah perkara yang disyari‘atkan, dan hukumnya sunnah menurut jumhur ‘ulamâ’, tidak sampai derajat wajib.

② Meluruskan dan merapatkan shoff tidak dengan menempelkan mata kaki dengan mata kaki dan pundak dengan pundak, akan tetapi dengan sedikit jarak antara keduanya. Di mana jaraknya tidak terlalu luas, tetapi juga tidak sampai menempel. Sekitar empat jari atau satu jengkal.

③ Adanya celah yang dilarang yaitu celah yang cukup dipakai untuk satu orang atau lebih. Adapun jika kurang dari itu, maka boleh, bahkan dianjurkan.

④ Merapatkan shoff dengan menempelkan mata kaki dengan mata kaki dan pundak dengan pundak, hukumnya makruh. Hal ini muncul dari pemahaman terhadap dalîl yang keliru, serta menyelisihi pemahaman para Salaf, terkhusus para imâm yang empat.

Semoga bermanfaat.

14 Romadhôn 1439 H

Sumber: FB Ust Abdullah Al Jirani dengan editan

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rules of Engagement

Selektif Dalam Mencari Guru – Sebuah Tinjauan

Penguasa Zhōlim Belum Tentu Cerminan Rakyat Yang Buruk