Jihâd Politik

GPK Kokohiyyun itu memang bebal…

Saat seorang teman mengajukan tulisan tentang anjuran mencoblos (bahkan masuk ke dunia perpolitikan) sebagai usaha untuk memperbaiki keadaan, yang mana tulisan itu merujuk kepada fatwa dari Syaikh Shôlih al-Fauzân حفظه الله, fatwa Syaikh al-Albânî, fatwa Syaikh Ibnu al-‘Utsaimîn رحمهم الله, bahkan juga fatwa dari al-Lajnah ad-Dâ-imah lil-Buhûts wal-Iftâ’, ternyata malah dibantah dengan tulisan KAwan syaiThÔN yang intinya cuma mengatakan bahwa berjuang di politik itu bukanlah perjuangan, sebab menurutnya itu cara yang bâthil sehingga tiada keberkahan.

Benarkah berjuang di perpolitikan itu cara yang bâthil?

Sebenarnya melihat hal ini sederhana saja, karena yang namanya demokrasi itu hanyalah sistem pemerintahan, sama seperti juga monarki, oligarki, otoritarianisme, dan totalitarianisme. Makanya dikenal adanya sistem "Demokrasi Parlementer", "Demokrasi Presidensial", "Demokrasi Terpimpin", "Monarki Parlementer", "Monarki Absolut", dlsb.

Yang namanya monarki bukan berarti tidak bisa demokratis, dan sebaliknya bukan berarti yang namanya presidensial itu sudah pasti demokratis, karena berapa banyak negara bersistem monarki di Eropa yang demokratis, dan berapa banyak negara di Asia atau di Afrika yang katanya presidensial namun faktanya adalah otoritarian bahkan totalitarian?

⇨ Intinya yang jadi permasalahan adalah UUD untuk menjalankan sistem itu adalah undang-undang apa?

Kalau yang digunakan UUD yang menyelisihi Hukum الله dan syari‘at yang dibawa oleh Rosûl-Nya صلى الله عليه و سلم, maka jelas itu adalah UU Thôghûtiyyah. Sehingga hukkâm (pembuat hukum)nya disebut sebagai "hukkâm yang zhôlim".

Yang bermasalah itu adalah ketika sistem demokrasi itu menghasilkan UU yang menyalahi syari‘at, misalnya: pembolehan pelacuran, peredaran khomr, atau hukum pidana yang menyelisihi hudud, atau sistem finasial ribawi.

Sebaliknya, jika UUD yang digunakan tidak menyelisihi Hukum الله dan syari‘at yang dibawa oleh Rosûl-Nya, dan UUD itu tidak ditempatkan lebih tinggi dari Hukum الله dan syari‘at yang dibawa oleh Rosûl-Nya, maka insyâ’Allôh tak ada kezhôliman.

Jadi kalau demokrasi itu didasari syari‘at Islâm, syari‘at yang dibawa Baginda Nabî صلى الله عليه و سلم, seperti yang diinginkan oleh Founding Fathers negeri ini ketika dulu mereka di dalam Tim 9 menyusun Piagam Djakarta dan mencanangkan Sila ke-1: "Ketoehanan dengan kewadjiban melaksanakan sjari'at Islam bagi pemeloek-pemeloeknja", maka itu tidak bisa disebut sebagai "Hukum Thôghûtiyah".

Begitu juga apabila yang dimaksud sebagai demokrasi adalah seperti Sila ke-4, yaitu: "Kerakjatan yang dipimpin oleh hikmat kebidjaksanaan dalam permoesjawaratan / perwakilan", maka jelas yang namanya "hikmat" itu tidak bisa dibelokkan maknanya menjadi selain dari "syari‘at". Sedangkan "permusyawaratan / perwakilan" itu jelas bukanlah "one man one vote" yang menyamakan seorang ‘ulamâ’ sepuh yang sangat terhormat dengan tukang meubilair pembual di medsos.

Itulah kenapa para ‘ulamâ’ terdahulu mengenal yang namanya "Jihâd Konstitusi", yaitu memperjuangkan syari‘at menjadi UU positif.

Sementara, solusi yang ditawarkan GPK Kokohiyyun itu apa?

Do'a? → Do'a itu jelas bukan usaha, walau do'a itu wajib mengiringi usaha.

Ganti (kualitas) rakyat? → Memangnya kaum Muslimîn itu tidak berusaha memperbaiki diri? Apa tidak dilihat betapa semangat perbaikan begitu kuat semenjak Aksi Bela Islâm? Pun kalau sedang memperbaiki diri, memangnya tidak bisa dengan melakukan hal-hal yang lain juga?

Solusi GPK Kokohiyyun itu tidak ada yang down to earth, mereka cuma layaknya orang yang mimpi sambil berdiri dengan mulut ileran di tengah panas siang bolong. Orang-orang yang bermimpi seakan mereka hidup di zaman ideal, zamannya Salafush-Shôlih.

Adapun yang kasihan itu adalah orang-orang yang mau mengikuti orang dungu yang memahami kewajiban untuk beramar-ma‘rûf nahyi munkar saja tidak mampu, akan tetapi dengan pedenya berbicara tentang agama. Pantas saja mereka ridhô hidup di bawah Hukum Ilyasiq, sedangkan saat al-Qur-ân dinista dan adzan dilecehkan, mereka hanya diam saja.

Adapun bagi kita, Ummat Islâm, maka pertanyaannya adalah: apakah masih mau merujuk perkara agama kepada GPK Kokohiyyun itu?

▪ IQ itu given, stupid itu pilihan.

❤ Kita berdo'a:

اللهم ول علينا خيارنا ولا تول علينا شرارنا
{allôhumma wali ‘alaynâ khiyârunâ wa lâ tûwali ‘alaynâ syirôronâ}

(arti) “Wahai Allôh, hadirkanlah untuk memimpin kami orang yang baik di antara kami, dan janganlah Engkau hadirkan untuk memimpin kami orang yang jahat dari kami.”

نَسْأَلُ اللهَ الْسَلَامَةَ وَالْعَافِيَةَ

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rules of Engagement

Selektif Dalam Mencari Guru – Sebuah Tinjauan

Penguasa Zhōlim Belum Tentu Cerminan Rakyat Yang Buruk