Meditasi Itu RITUAL, Bukan Pengalaman Spiritual

Saya melihat banyak Muslim yang membela-bela bahwa meditasi itu di dalam Islām ada, namanya bisa "tafakkur" atau "muḥāsabah", bahkan Nabī Muḥammad ﷺ pernah melakukannya di gua Ḥirō’, jadi meditasi bisa juga disebut sebagai i`tikāf.

❓ Seperti biasa pertanyaannya adalah, "Benarkah yang demikian?"

🔵 Pertama definisi dari "tafakkur" (تَفَكُّر) di mana kata tersebut di dalam bahasa Àrab artinya adalah: merenung, memikirkan, atau menganalisis sesuatu dengan mendalam. Praktik tafakkur sendiri dalam Islām adalah proses perenungan yang mendalam mengenai tanda-tanda kebesaran Allōh ﷻ, kehidupan, alam semesta, dan segala ciptaan-Nya, dan tentunya introspeksi diri dan memikirkan tujuan hidup ini.

Kemudian definisi dari "muḥāsabah" (مُحَاسَبَة) dalam bahasa Àrab adalah: introspeksi atau evaluasi diri. Di dalam konteks Islām, muḥāsabah adalah praktik merenungkan atau menilai perbuatan dan sikap diri sendiri untuk memahami sejauh mana seseorang sudah menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allōh ﷻ‎. Muḥāsabah juga dilakukan untuk meningkatkan kesadaran akan kelemahan atau kesalahan, agar bisa diperbaiki dan dihindari di masa mendatang.

⚠ Tak ada ritual khusus di dalam tafakkur ataupun muḥāsabah. Adapun tujuan keduanya adalah untuk introspeksi diri untuk melihat bagaimana posisi diri jikalau kelak ditanya sama Allōh ﷻ, Sang Robbul-Ȁlamīn, di Mahkamah Hari Āḳirot.

Sementara meditasi itu menurut literatur tertua, yaitu kitāb Veda dari 1.500 tahun sebelum Masehi, adalah ritual yang melibatkan olah gerak, olah nafas, dan oleh sikap, dengan merapalkan mantera, mendengarkan suara-suara tertentu, dan dilakukan di tempat-tempat tertentu.

Praktik meditasi dalam tradisi Hinduisme Kuno merupakan bagian penting dari jalan menuju Moksha (arti: kebebasan spiritual), di mana meditasi sering kali dilakukan dengan mengontrol pikiran dan indra untuk mencapai kesadaran diri dan memahami Dewa Tertinggi (Brahman).

Praktik meditasi di tradisi Hinduisme Kuno melibatkan beberapa teknik, semisal:
⑴. Japa, yaitu pengulangan mantra-mantra tertentu yang diyakini dapat membawa ketenangan.
⑵. Dhyana, yaitu mengusahakan pikiran fokus pada satu hal atau bahkan mencapai keadaan tanpa pikiran sama sekali.
⑶. Kundalini, yaitu membangkitkan "energi spiritual" di dalam tubuh, sering dikaitkan dengan sistem cakra.
⑷. Bhakti dan yoga, olah gerak dan olah nafas untuk mengarahkan diri pada Dewa Brahman, sehingga seseorang merasa terhubung dengannya.

Di dalam tradisi Hinduisme Kuno, meditasi diyakini dapat membantu seseorang untuk mencapai tingkat kesadaran yang lebih tinggi, mengenali jati diri, dan mengalami penyatuan dengan alam semesta dan dengan Dewa Brahman.

‼️ Maka kalau sudah memahami pemaparan di atas, maka tentunya TIDAK ADA KESAMAAN antara ritual meditasi dengan kegiatan tafakkur dan muḥāsabah.

🔵 Kedua, Baginda Nabī ﷺ berdiam diri di gua Ḥirō’ itu BUKAN melakukan ritual meditasi.

Para ùlamā’ menamakan kegiatan Baginda Nabī Muḥammad ﷺ (sebelum menerima waḥyu dan diangkat menjadi Nabī & Rosūl-Nya) berdiam diri di gua Ḥirō’ itu sebagai "taḥannuṫ" (تَحَنُّث). Taḥannuṫ itu adalah praktik pengasingan diri, menjauhi aktivitas sehari-hari & hiruk-pikuk duniawi, untuk berfokus pada perenungan.

Sama sekali tak ada riwayat Baginda Nabī ﷺ melakukan ritual tertentu ketika itu selain dari merenung dan berpikir.

Adapun setelah Baginda Nabī ﷺ menerima waḥyu pertama, maka Beliau ﷺ ada tak lagi melakukan taḥannuṫ. Pun Beliau ﷺ juga sama sekali tak pernah menyuruh para Ṣoḥābat رضي الله تعالى عنهم untuk melakukan taḥannuṫ.

Adapun i`tikāf (إعْتِكَاف), maka ia tidak sama dengan taḥannuṫ. I`tikāf itu adalah praktik berdiam diri di dalam Masjid dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allōh ﷻ (yang biasanya dilakukan selama beberapa hari, terutama pada 10 hari terakhir bulan Romaḍōn), dan fokusnya adalah pada ṣolāt, tilawah, dan żikir.

🔵 Last but never the less, agama Islām ini sudah sempurna, dari sisi yang manapun juga, sebagaimana firman-Nya:

ٱلْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلْإِسْلَامَ دِينًا

(arti) _“Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepada kamu nikmat-Ku, dan telah Aku riḍōi Islām sebagai agama untuk kamu.”_ [QS al-Mā-idah (5) ayat 3].

‼️ Jadi tidak perlu ada mencari-cari tambahan lagi, lebih-lebih itu berasal dari ritual agama polytheisme.

Takutlah akan peringatan Baginda Nabī ﷺ:

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

(arti) _“Siapa saja yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk dari kalangan mereka.”_ [HR Abū Dāwud no 4031].

Demikian, semoga dapat dipahami.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rules of Engagement

Selektif Dalam Mencari Guru – Sebuah Tinjauan

Penguasa Zhōlim Belum Tentu Cerminan Rakyat Yang Buruk