Pamer Kemesraan?

"Masajik nan awak buek, Gereja juo kecek urang", begitu kata pak Davitson, guru pembimbing saya semasa SMA. Maksudnya, akan ada saja orang yang menanggapi negative terhadap kita walau sepositive apapun perbuatan kita itu vibes-nya.

Begitu pula akhir-akhir ini ketika saya posting foto dengan istri. Mulai dari tuduhan "pamer kemesraan" sampai ke tuduhan "terlalu cepat move on", maka baiklah akan saya jawab di sini…


Jika tuduhan itu adalah "pamer kemesraan", maka rasanya postingan saya masih wajar. Tiada yang sampai merendahkan muru‘ah apalagi sampai jatuh harōm. Suami istri seumpama pakaian itu bukan an sich / saklek sekadar saling menutupi aurōt, tetapi juga saling menjadi kenyamanan dan kehormatan bagi masing-masing. Karena sebagai suami (dan demikian juga istri) akan merasakan kenyamanan dan merasa terhormat dengan adanya pasangan halāl. Yang demikan itu sama sekali tak menafikan kebolehan untuk memperlihatkan kemesraan. Karena yang penting adalah memperlihatkannya masih dalam batas-batas adab & kesopanan.

Adapun perkataan "pamer" itu sendiri, maka itu adalah tentang "kesombongan" yang mana itu adalah perkara hati, padahal hanya Allōh ﷻ‎ yang Maha Tahu isi hati seseorang.

Soal hati, maka itu urusannya adalah niyat, sedangkan niyat itu bisa bermacam-macam. Ada niyat yang dasarnya baik, yaitu untuk berda‘wah, bahwa menikāh itu indah dan menjaga iffah sehingga ia bernilai ‘ibādah.

Atau bahkan niyat menyebutkan nikmat yang Allōh ﷻ‎ berikan (taḥadduts bin-ni‘mah), karena bukankah Allōh ﷻ‎ memerintahkan:

وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ

(arti) _“Dan terhadap nikmat Robb-mu, maka hendaklah kamu ceritakan.”_ [QS adh-Dhuḥā (93) ayat 11].

Kata Baginda Nabī ﷺ‎:

اَلتَّحَدُّثُ بِالنِّعَمِ شُكْرٌ

(arti) _“Menceritakan nikmat termasuk upaya bersyukur.”_ [HR Aḥmad no 18449; al-Bazzār no 3282; al-Baihaqī, Syu‘abul-Īmān no 8698].

Allōh senang bekas-bekas nikmat-Nya tampak pada hamba-Nya sebagaimana kata Baginda Nabī ﷺ‎:

إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ أَنْ يَرَى أَثَرَ نِعْمَتِهِ عَلَى عَبْدِهِ

(arti) _“Allōh senang apabila bekas-bekas nikmat-Nya tampak pada hamba-Nya.”_ [HR at-Tirmidzī no 2819; Aḥmad no 7759].

⚠️ Tiada salahnya menampilkan kemesraan jika memang itu didasari kesyukuran atas nikmat yang Allōh ﷻ‎ berikan, apalagi untuk berda‘wah, yang mana itu berbeda sekali dengan kesombongan.

Kata Imām Ibnul-Qoyyim al-Jauziyyah رحمه الله تعالى:

والفرق بين التحدث بنعم الله والفخر بها : أن المتحدث بالنعمة مخبر عن صفات مُولِيها ، ومحض جوده وإحسانه ؛ فهو مُثْنٍ عليه بإظهارها والتحدث بها ، شاكرا له ، ناشرا لجميع ما أولاه ، مقصوده بذلك إظهار صفات الله ، ومدحه والثناء [ عليه ] ، وبعث النفس على الطلب منه دون غيره ، وعلى محبته ورجائه ، فيكون راغبا إلى الله بإظهار نعمه ونشرها والتحدث بها .
وأما الفخر بالنعم : فهو أن يستطيل بها على الناس ، ويريهم أنه أعز منهم وأكبر ، فيركب أعناقهم ، ويستعبد قلوبهم ، ويستميلها إليه بالتعظيم والخدمة .

(arti) _“Perbedaan antara berbicara tentang nikmat Allōh dengan kesombongan adalah: bahwa orang yang berbicara tentang nikmat Allōh menampilkan tentang shifat-shifat dari Dzat menganugerahkannya, murni tentang kebaikan dan kemurahan hati-Nya, jadi ia memuji-Nya dengan menunjukkan dan berbicara tentang-Nya, bersyukur kepada-Nya, menyebarkan semua yang telah Allōh berikan kepadanya, bermaksud dengan itu untuk menunjukkan shifat-shifat Allōh, memuji dan memuliakan-Nya, dan menguatkan jiwa untuk meminta hanya dari Dia dan tiada yang lain, demi cinta dan pengharapan kepada-Nya, maka dengan itu ia suka memperlihatkan nikmat-nikmat bahkan menyebar dan menceritakannya. Adapun bangga atau sombong dengan nikmat: adalah untuk membuat orang kagum terhadapnya, dan untuk menunjukkan kepada mereka bahwa ia lebih mulia dan lebih besar daripada mereka, maka ia merendahkan mereka, memperbudak hati mereka, dan mengharapkan dari mereka kemuliaan dan pelayanan.”_ [lihat: ar-Rūh hal 312].

🚫 Janganlah bermudah-mudah menuduh orang yang posting kemesraan itu sebagai "pamer".

Kenapa?

Karena kita tak tahu apa sebenarnya yang ada di hati orang itu. Sebab selain sebab di atas (da‘wah atau kesyukuran atas nikmat Allōh), bisa jadi juga melakukannya untuk menutupi ‘aib atau hal-hal yang kurang baik tentang dirinya. Berapa banyak kita dengar kisah orang yang pura-pura menampilkan dirinya bahagia padahal RTnya rapuh (entah itu karena pasangannya pelaku KDRT, atau tukang selingkuh, atau bahkan mempunyai penyimpangan seksual). Pun kalaupun ia menutupi ‘aib, memangnya kenapa?

Sedangkan terhadap tuduhan "terlalu cepat move on", maka apabila "Buna juga berhak bahagia", kenapa Acad tidak? 😁

نسأل الله السلامة والعافية في الدنيا والآخرة

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rules of Engagement

Selektif Dalam Mencari Guru – Sebuah Tinjauan

Sutroh