Tentang Pengunaan Toa di Masjid

Lagi-lagi penggunaan toa (loudspeaker) di Masjid dipermasalahkan. Kali ini karena ada sesengartis yang menulis caption atas postingan video di akun Instagramnya sehingga menuai reaksi keras dari Netizen Muslimīn.




Maka saya pun cari tahu siapa sih yang mempermasalahkan dan apa yang dipermasalahkan?

Well, ternyata yang mempermasalahkan ya kita tahu lah, bini seorang sutradara yang pemikirannya terkenal Liberal…

❓ Namun sebelum menghakimi lebih jauh, maka pertanyaannya apakah salah caption yang diberikannya itu?

Mari kita lihat baik-baik apa yang dituliskannya itu:

"Cuma mau nanya ini bangunin model gini lagi HITS katanya?! Trus etis ga si pake toa masjid bangunin model gini?? Apalagi kita tinggal di Indonesia yang agamanya pun beragam.. Apa iya dengan begini jadi tidak menganggu yang lain tidak menjalankan Shaur?!"

→ Intinya, sesengartis itu mempertanyakan apakah penggunaan loudspeaker untuk membangunkan orang dengan cara seperti itu etis?

❔ Maka caranya apa sih?

❕ Ternyata di video itu suara anak-anak yang teriak-teriak "sahur-sahur" dengan memakai loudspeaker. Just like in many places, dan itu sangat mengganggu manusia.

Maka mari kita lihat dulu hukum menggunakan loudspeaker di Masjid.

📍 Syaikh ‘Abdur-Rohman as-Sa‘diy رحمه الله تعالى ketika Beliau ditanyakan tentang perkara penggunaan loudspeaker di Masjid di Sa‘ūdi (pertama kalinya dulu), maka ia menjawab:

فكما أن استعمال الأسلحة القوية العصرية والعناية بها داخل في قوله تعالى : ( وأعدوا لهم ما استطعتم من قوة ) ، واستعمال الوقايات والتحصينات عن الأسلحة الفتاكة داخلٌ في قوله تعالى : ( وخذوا حذركم ) ، والقدرة على المراكب البحرية والجوية والهوائية داخل في قوله تعالى : ( ولله على الناس حج البيت من استطاع إليه سبيلا ) ، وجميع ذلك وغيره داخل في الأوامر بأخذ جميع وسائل القوة والجهاد ، فكذلك إيصال الأصوات والمقالات النافعة إلى الأمكنة البعيدة من برقياتٍ وتليفونات وغيرها داخلٌ في أمر الله ورسوله بتبليغ الحقِّ إلى الخلق ، فإن إيصال الحقِّ والكلام النافع بالوسائل المتنوعة من نعم الله ، وترقية الصنائع والمخترعات لتحصيل المصالح الدينية والدنيوية من الجهاد في سبيل الله . انتهى من خطبةٍ للشيخ بن سعدي حين وضع مكبِّر الصوت في المسجد واستنكره بعض الناس - مجموعة مؤلفات ابن سعدي ج ٦ ص ٥١
(arti) _“Sedangkan adzan dengan menggunakan pengeras suara, maka (hal itu) tidak mengapa karena itu adalah sarana untuk menyampaikan adzan kepada orang-orang yang mendengarkan. Dan sarana dihukumi (sesuai) dengan maksudnya. Mengeraskan suara adzan dan menyampaikan kepada manusia adalah perkara yang diinginkan dan memang dimaksudkan. Jikalau sarana menuju ke maksud ini, maka hal itu adalah diinginkan juga. Sebagaimana menggunaan persenjataan modern dan perhatian terhadapnya, ia termasuk dalam firman Allōh: "Dan persiapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja dari yang kamu sanggupi" (QS al-Anfāl ayat 60 -pent). Dan menggunakan pertahanan dari persenjataan yang mematikan termasuk dalam firman Allōh: "Dan jadikanlah kehati-hatian bagi kamu semua" (QS an-Nisā’ ayat 71 -pent). Sarana transportasi laut, darat, dan udara adalah termasuk dalam firman Allōh: "Mengerjakan hajji adalah kewajiban atas manusia terhadap Allōh, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baytullōh" (QS Āli ‘Imrōn ayat 97 -pent). Mirip dengan itu, menyuarakan kebenaran dan kebajikan agar mencapai tempat-tempat yang jauh menggunakan telegraf, telepon, dlsb adalah termasuk dalam perintah Allōh dan Rosūl-Nya untuk menyampaikan kebenaran kepada manusia. Kemampuan menyampaikan kebenaran dan kebajikan dengan berbagai sarana adalah salah satu bentuk di antara nikmat-nikmat Allōh, sedangkan mengembangkan dan menciptakan sarana untuk kemaslahan agama dan duniawi adalah termasuk dari jihād fī sabilillāh.”_ [lihat: Majmuw‘ah Muallafat Ibnu Sa‘diy VI/51].

‼️ Jadi penggunaan loudspeaker itu boleh, bahkan wajib – akan tetapi hanya untuk adzan.

❓ Kenapa?

⇛ Karena adzan itu memang diperintahkan untuk dikeraskan, agar manusia tahu.

Dahulu muadzin Baginda Nabī ﷺ itu naik ke atas bangunan untuk melantunkan adzan sehingga suaranya terdengar ke puluhan rumah di sekeliling Masjid an-Nabawi. Ketika Fat-hul-Makkah, Bilal رضي الله تعالى عنه naik ke atas Ka‘bah untuk melantunkan adzan.

⚠ Jadi memang ada perintah adzan dikeraskan, sehingga sarana mengeraskan adzan yaitu loudspeaker itu menjadi boleh bahkan wajib.

❌ Namun bukan untuk yang lainnya, termasuk juga bahkan untuk membaca al-Qur-ān atau Sholāwatan apabila itu mengganggu manusia.

❓ Kok gitu?

❗ Iya, perhatikan…!

📌 Suatu ketika Baginda Nabī ﷺ sedang i‘tikaf di Masjid, lalu Beliau ﷺ mendengar para Shohābat sedang tilawah dengan suara yang berisik. Maka Beliau ﷺ menyingkap tirai lalu bersabda:

أَلاَ إِنَّ كُلَّكُمْ مُنَاجٍ رَبَّهُ فَلاَ يُؤْذِيَنَّ بَعْضُكُمْ بَعْضًا، وَلاَ يَرْفَعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِي الْقِرَاءَةِ‏ أَوْ فِي الصَّلاَةِ

(arti) _“Wahai! Setiap kalian berbicaralah dengan Robb-nya dengan suara yang lirih. Seseorang hendaknya tidak mengganggu yang lain, dan seseorang hendaknya tidak mengeraskan suaranya atas yang lainnya saat sedang tilawah atau sholāt.”_ [HR Abū Dāwūd no 1332; Ahmad no 11461].

❓ Kenapa?

Karena jelas perintah berdo'a kepada Allōh ﷻ itu adalah dengan suara yang lembut.

📌 Kata Allōh ﷻ di dalam firman-Nya:

ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ

(arti) _“Berdo'alah kepada Robb-mu dengan merendahkan diri dan dengan suara yang lembut. Sungguh-sungguh Allōh tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”_ [QS al-A‘rōf (7) ayat 55].

Serta firman-Nya:

وَاذْكُر رَّبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ وَلَا تَكُن مِّنَ الْغَافِلِينَ

(arti) _“Dan sebutlah (nama) Robb-mu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan merasa takut serta dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.”_ [QS al-A‘rōf (7) ayat 205].

Ini dipertegas oleh Baginda Nabī ﷺ dengan melarang para Shohābat bersyahadat keras-keras sampai mengganggu orang.

📌 Kata Baginda Nabī ﷺ di dalam sabdanya:

ارْبَعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ، إِنَّكُمْ لاَ تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلاَ غَائِبًا، إِنَّكُمْ تَدْعُونَ سَمِيعًا قَرِيبًا وَهْوَ مَعَكُمْ

(arti) _“Kecilkan suara kalian, karena sungguh kalian tidaklah sedang menyeru kepada Dzat yang tuli atau yang tidak ada! Sungguh-sungguh Dzat yang kalian seru itu Maha Mendengar lagi Maha Dekat dengan kalian.”_ [HR al-Bukhōriy no 4205, 6384, 6409, 6610, 7386; Muslim no 2704; Abū Dāwūd no 1526, 1527; Ahmad no 18818, 18910, 18920].

Adapun perilaku berdo'a dan melantunkan ayat suci dengan suara yang lembut itu adalah adab dari para Nabiyullōh terdahulu.

📌 Kata Allōh ﷻ mengisahkan di dalam firman-Nya:

ذِكْرُ رَحْمَتِ رَبِّكَ عَبْدَهُ زَكَرِيَّا ۝ إِذْ نَادَىٰ رَبَّهُ نِدَاءً خَفِيًّا

(arti) _“(Yang dibacakan ini adalah) Penjelasan tentang rahmat Robb-mu kepada hamba-Nya, Zakariyyā. Yaitu tatkala ia berdo'a kepada Robb-nya dengan suara yang lembut.”_ [QS Maryam (19) ayat 2-3].

‼️ Ternyata pada sholāt, tilawah, dan do'a, maka perintahnya adalah dengan suara yang LEMBUT.

☠ Maka tentunya membangunkan orang dengan suara yang mengganggu seperti pada video itu adalah jauh dari adab Islām sebagaimana yang diajarkan oleh Baginda Nabī ﷺ dan dicontohkan oleh para Nabiyullōh terdahulu.

FYI, di Sa‘ūdi itu loudspeaker Masjid HANYA boleh digunakan untuk adzan saja, TIDAK untuk yang lain sekalipun itu tilawah al-Qur-ān ataupun Sholāwat.

❤️ Kita berdo'a:

اَللَّهُمَّ أَهْدِنِيْ لِأَحْسَنِ اْلأَعْمَالِ وَأَحْسَنِ اْلأَخْلاَقِ ، لاَ يَهْدِي لِأَحْسَنِهَا إِلاَّ أَنْتَ وَقِنِي سَيِّئِ اْلأَعْمَالِ وَسَيِّئِ اْلأَخْلاَقِ ، لاَ يَقِي سَيِّئَهَا إِلاَّ أَنْتَ
{allōhumma ahdinī li-ahsanil a‘māli wa ahsanil-akhlāq, lā yahdī li-ahsanihā illā anta wa qinī sayyi-il a‘māli wa sayyi-il akhlāq, lā yaqī sayyi-ahā illā ant}

(arti) "Wahai Allōh, berilah petunjuk kepada kami agar bisa berbuat sebaik-baik ‘amalan dan sebaik-baik akhlāq. Tiada yang bisa menunjuki untuk berbuat sebaik-baiknya kecuali hanya Engkau. Dan lindungilah kami dari jeleknya ‘amalan dan jeleknya akhlāq, dan tiada yang bisa melindungi dari kejelekannya kecuali hanya Engkau."

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rules of Engagement

Selektif Dalam Mencari Guru – Sebuah Tinjauan

Sutroh