Lebaran Tanggal 21 April Ataukah 22 April?
Seorang sahabat bertanya tentang kenapa sih dari tahun ke tahun terus saja terjadi "keributan" perkara penentuan kapan berlebaran ini?
Jadi seperti kita ketahui, dalam fiqih kontemporer ada 3 cara penentuan awal bulan Qomariyah, yaitu:
⑴. Ru’yatul-hilāl, yaitu melihat Bulan secara langsung.
⑵. Imkanur-ru’yah, yaitu penetapan kriteria untuk mempertimbangkan kemungkinan terlihatnya hilāl dengan ketinggian / altitude Bulan di atas cakrawala minimum x°, dan sudut elongasi (jarak lengkung) Bulan-Matahari minimum x°, atau pada saat Bulan terbenam usia bulan minimum x jam dihitung sejak ijtimā’ / konjungsi.
⑶. Ḥisab Falaki, yaitu: ijtimā’ telah terjadi sebelum Matahari terbenam, dan Bulan terbenam setelah Matahari terbenam maka telah dianggap wujudul-ḥilāl atau awal bulan kalender Hijriyyah tanpa melihat berapapun sudut ketinggian (altitude) Bulan saat Matahari terbenam.
Adapun metode yang diajarkan oleh Baginda Nabī ﷺ itu adalah yang metode pertama, yaitu ru’yatul-hilāl, yang mana tidak pakai kriteria-kriteriaan, cukup melihat langsung ḥilāl Bulan.
Kata Baginda Nabī ﷺ:
صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ
(arti) _“Berpuasalah kalian dengan melihat (hilāl bulan Romaḍōn) dan berbukalah kalian dengan melihat (hilāl bulan Ṡawwāl).”_
Kalau hilāl tampak, ya umur kalendernya adalah 29 hari, sedangkan jikalau tak tampak maka genapkan (istikmāl) hari bulannya menjadi 30 hari, sebagaimana sabda Baginda Nabī ﷺ:
فَإِنْ غُمِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعَدَدَ
(arti) _“Jikalau Langit berawan tampak bagi kalian, maka genapkanlah jumlahnya (30 hari).”_
Adapun metode ke-2 yang dianut oleh MABIMS (Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura) dan OrMas NU, PERSIS. Sedangkan metode ke-3 dianut OrMas Muhammadiyah. Kedua metode ini karena memakai kriteria, maka sebenarnya "rawan" ḳilafiyyah, dikarenakan ada penetapan kriteria itu bisa berbeda-beda antara pemakai metode itu sendiri walaupun metodenya sama.
Lalu bagaimana dengan di negeri kita ini?
Seperti kita ketahui, masyarakat Muslimīn kita mayoritas terbagi ke kelompok 2 dan 3. Jadi mengikut kepada salah satu, ya tidak masalah, oke saja karena itu adalah pendapat ùlamā’ yang mu‘tabar (dianggap).
Tapi kan artinya tetap saja berbeda-beda?
Iya memang… namun ada lagi sebuah petunjuk dari Baginda Nabī ﷺ, yaitu: berlebaran adalah bersama dengan (mayoritas) kaum Muslimin di daerah tempat kita tinggal.
Kata Baginda Nabī ﷺ:
صَوْمُكُمْ يَوْمَ تَصُومُونَ وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَأَضْحَاكُمْ يَوْمَ تُضَحُّونَ
(arti) _“Hendaklah kalian berpuasa bersama kaum Muslimīn dan berbuka (berhari raya Ȉdul-Fiṭri) bersama mereka pula, dan begitu pula dalam berqurban (merayakan Ȉdul-Aḍḥā) maka berqurbanlah bersama dengan mereka.”_
⚠ Nah, petunjuk yang terakhir ini yang sangat penting dalam menyikapi perbedaan metode penentuan berhari-raya.
Adapun penerapannya adalah sebagaimana yang dikenal dengan ḥadīṫ yang diriwayatkan oleh Imām Muslim ibn al-Ḥajjāj an-Naisābūrī di dalam kitāb ṣoḥīḥnya dari Ṣoḥābat Kuraib ibn Abī Muslim رضي الله تعالى عبه.
Jadi misalnya A memulai Romaḍōn di JKT, lalu ia pergi ke Amrik yang puasanya mulai lebih belakangan sehari. Maka ketika ia di Amrik didapatinya puasa di sana 30 hari – artinya kalo ia ikut puasa di sana maka puasanya jadi 31 hari – maka tentunya ia tak boleh ikutan puasa 1 hari itu (masa 31 hari?). Jadi ia berbuka pada saat orang di Amrik masih berpuasa, namun ia tak boleh ṣolāt Ȉd sendirian, ia wajib solāt Ȉd bersama dengan kaum Muslimīn setempat pada saat mereka ṣolāt Ȉd.
Sebaliknya, kalau A memulai puasa di Amrik yang belakangan sehari, lantas A ke JKT sedangkan di JKT puasa 30 – artinya A baru berpuasa 29 hari – maka A tetap berlebaran bersama dengan kaum Muslimīn di JKT (walau puasanya baru 29 hari).
Jadi kebersamaan dengan mayoritas kaum Muslimīn di daerah kita berada itu sangatlah penting, dan itu adalah prinsip "ḳurūj minal-ḳilāf mustaḥab".
Ini dipraktekkan oleh para Salafuṣ-Ṣōliḥ, yang mana salah satu contohnya yang sangat terkenal adalah perbedaan pandangan antara Ḳolīfah Ùṫmān ibn al-Àffān رضي الله تعالى عبه dengan Ṣoḥābat Àbdullōh ibn Masȕd رضي الله تعالى عبه berkenaan perkarar ṣolāt qoṣr bagi musāfir (hajji). Keduanya adalah ùlamā’ besar di kalangan Ṣoḥābat, Ùṫmān ibn al-Àffān berpandangan bahwa musāfir itu menunaikan ṣolāt secara tamām (sempurna), adapun Àbdullōh ibn Masȕd berpendapat bahwa ṣolāt harus dilakukan secara qoṣr. Meskipun begitu, Àbdullōh ibn Masȕd tetap berimām (menjadi ma’mūm) kepada Ùṫmān (yang melakukan ṣolāt secara tamām) ketika mereka bersafar bersama walaupun ia berpandangan bahwa ṣolāt bagi musāfir adalah qoṣr.
Ketika ditanyakan kepada Àbdullōh ibn Masȕd kenapa ia mengikuti Ùṫmān ibn al-Àffān, maka ia berkata:
الخِلَاف شَرٌّ
(arti) _“Ḳilāf (perselisihan) itu adalah sesuatu yang buruk!”_
Berlebaran lah di hari Jumàt karena memang memilih mengikuti pendapat fiqh penentuan awal bulan dengan metode "Ḥisab Falaki", karena sebagian ùlamā’ berijtihād dengannya.
Namun jangan pernah berlebaran di hari Jumàt tanggal 21 karena ingin menyelisihi rezim Sarimin, atau karena Romaḍōn jadinya cuman 29 hari.
Demikian, semoga bermanfaat.
…
Mungkin banyak yang bertanya, bagaimana kalau meyakini hilāl telah terlihat pada hari Kamis, karena ada yang mempersaksikannya, namun persaksiannya itu ditolak oleh Pemerintah? Sebab implikasinya kan panjang, pertama adalah ḥarōm ṣoum di Hari Raya, dan kemudian tak ada tuntunannya Ṣolāt Ȉd di tanggal 2 Ṡawwāl, bukan?
Ternyata permasalahan ini pun telah terjadi di masa lalu, karena Ṡaiḳul-Islām Aḥmad ibn Àbdul-Ḥalīm ibn Taimiyyah al-Ḥarrōnī mengangkat permasalahan tentang orang yang melihat dengan mata kepalanya sendiri, ia haqqul-yaqīn tanpa keraguan tentang hilāl Romaḍōn atau Ṡawwāl itu, lalu persaksiannya itu ditolak oleh hakim.
Di dalam kitābnya, Majmū’ al-Fatāwa, Ṡaiḳul-Islām Ibnu Taimiyyah mengatakan:
الْحَمْدُ لِلهِ ، إذَا رَأَى هِلَالَ الصَّوْمِ وَحْدَهُ أَوْ هِلَالَ الْفِطْرِ وَحْدَهُ فَهَلْ عَلَيْهِ أَنْ يَصُومَ بِرُؤْيَةِ نَفْسِهِ؟ أَوْ يُفْطِرَ بِرُؤْيَةِ نَفْسِهِ ؟ أَمْ لَا يَصُومُ وَلَا يُفْطِرُ إلَّا مَعَ النَّاسِ ؟ عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْوَالٍ هِيَ ثَلَاثُ رِوَايَاتٍ عَنْ أَحْمَد : أَحَدُهَا : أَنَّ عَلَيْهِ أَنْ يَصُومَ وَأَنْ يُفْطِرَ سِرًّا وَهُوَ مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ . وَالثَّانِي : يَصُومُ وَلَا يُفْطِرُ إلَّا مَعَ النَّاسِ وَهُوَ الْمَشْهُورُ مِنْ مَذْهَبَ أَحْمَد وَمَالِكٍ وَأَبِي حَنِيفَةَ . وَالثَّالِثُ : يَصُومُ مَعَ النَّاسِ وَيُفْطِرُ مَعَ النَّاسِ وَهَذَا أَظْهَرُ الْأَقْوَالِ
(arti) _“Alḥamdulillāh, apabila ia melihat hilāl puasa sendirian atau hilal Ṡawwāl sendirian, apakah ia harus berpuasa atau berlebaran sendiri? Atau harus ikut orang ramai? Ada 3 pendapat dalam permasalahan ini, dan kesemuanya adalah riwayat dari Aḥmad. Pertama, ia harus berpuasa dan berlebaran secara rahasia. Ini adalah mażhab aṡ-Ṡāfiìyy. Kedua, kalau ia berpuasa, ia harus puasa sendiri, tapi kalau ia berlebaran (berbuka Ṡawwāl) ia harus bersama dengan orang ramai. Ini adalah pendapat Aḥmad, Mālik, Abū Ḥanīfah. Ketiga, ia tetap harus berpuasa dan berbuka bersama orang banyak. Inilah adalah pendapat yang terkuat.”_
Terlepas dari apa yang dirōjiḥkan oleh Ṡaiḳul-Islām Ibnu Taimiyyah di atas, dan Beliau mengemukakan alasannya panjang lebar di kitābnya itu sampai 4 halaman berikutnya, yang menarik adalah bahwa di dalam mażhab aṡ-Ṡāfiìyy ternyata orang yang melihat hilāl Ṡawwāl sendirian maka ia harus berbuka tapi secara sembunyi, lalu Ṣolāt Ȉd-nya tetap bersama dengan orang ramai pada keesokan harinya.
Beberapa kitāb mażhab aṡ-Ṡāfiìyy mengemukakan alasannya, seperti aṡ-Ṡirōzī dalam al-Muhażżab, yaitu agar orang itu tidak terkena tuhmah (tuduhan miring) atau dihukum oleh penguasa [lihat: al-Majmū’ jil 6 hal 276].
Dari alasan ini dapat disimpulkan bahwa di dalam mażhab aṡ-Ṡāfiìyy, —mażhab mayoritas kaum Muslimīn di Nusantara— orang boleh berbuka terlebih dahulu lalu ṣolātnya mengikuti orang ramai karena menjaga persatuan, atau hal lainnya yang dianggap lebih maslahat.
Demikian, semoga bermanfaat.
Komentar
Posting Komentar