Menulis Ìlmu di Social Media
Belajar dari kasus seorang aktifis Islām (yang selama ini dikenal melawan SePiLisme) yang kemarin tiba-tiba berfatwa tanpa ìlmu dengan fatwa yang sangat liberal itu menjadi peringatan bagi kita semua.
Ada beberapa peringatan di dalam kasus ini, yaitu:
Pertama: NIYAT.
Kita menulis itu untuk apa niyatnya? Untuk beramar ma‘rūf nahyi munkar karena itu adalah perintah Allōh ﷻ kah? Ataukah karena hawa nafsu, semisal ingin terkenal sebagai orang berìlmu, atau ingin punya followers yang banyak, atau keinginan-keinginan yang lain?
Kata Baginda Nabī ﷺ:
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَلِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
(arti) _“Àmal itu tergantung dari niyatnya, dan seseorang hanya mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niyatkan. Siapa saja yang hijrohnya kepada Allōh dan Rōsul-Nya, maka hijrōhnya itu kepada Allōh dan Rōsul-Nya. Sedangkan siapa saja yang hijrohnya karena keduniawian atau karena perempuan yang hendak dinikāhinya, maka hijrohnya itu sesuai ke mana ia hijroh.”_ [HR an-Nawawī, al-Arbaȉn an-Nawawī no 1].
Output tulisan kita mungkin sama, narasinya mungkin sama, bahkan bobotnya pun mungkin saja sama, akan tetapi niyat itu membuat akhirannya akan berbeda. Yang satu berujung kepada riḍō Allōh, sedangkan niyat yang salah tiada nilainya sama sekali di sisi Allōh.
Kedua: ÌLMU.
Ada 3 jenis orang yang menulis di FB ini:
⑴. Orang yang benar-benar belajar ìlmu dan memahaminya dengan pemahaman yang benar. Orang ini biasanya sangat berhati-hati dalam memposting, ia memastikan tulisannya itu mempunyai rujukan yang ṣoḥīḥ.
⑵. Orang yang belajar sendiri, membaca-baca sendiri, memahami dengan pemahaman sendiri, lalu merasa dirinya mempunyai otoritas untuk berbicara tentang ìlmu. Biasanya tulisan orang type ini kadang benar, namun kebanyakan pemahamannya aneh.
⑶. Orang yang tidak belajar dan tidak membaca, menulis hanya bermodalkan kenekadan saja. Orang type ini biasanya kalau menulis, maka pemahamannya sesat.
Apapun type / jenisnya, jikalau ingin menulis ìlmu yang bermanfaat, maka tuliskanlah dengan yang benar, yang dipahami dengan benar, dan pastikan ada rujukan yang ṣoḥīḥ.
Sedangkan bagi orang yang menulis tanpa ìlmu yang dipahami dengan benar, maka dahulu ada seorang ahli fiqih dan mufti di kota Madīnah yang bernama Robīàh ar-Ro’yu رحمه الله تعالى, Beliau mengatakan:
استُفتي من لا علم له ، وظهر في الإسلام أمر عظيم ، ولبعض من يفتي هاهنا أحق بالسجن من السُّرَّاق
(arti) _“Telah berfatwa orang yang tak mempunyai ìlmu, ini sesuatu hal yang besar di dalam agama, dan bagi sebagian orang yang melakukan hal itu, ia lebih berhak untuk dijebloskan ke dalam penjara dibanding para maling.”_
Karena setiap menulis pasti akan…
Ketiga: DIMINTA PERTANGGUNGJAWABAN-nya
Iya, apapun yang kita tuliskan itu pasti akan diminta pertanggungjawabannya.
Kata Allōh ﷻ di dalam firman-Nya:
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
(arti) _”Dan janganlah kamu mengikuti apa-apa yang kamu tak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sungguh-sungguh pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya.”_ [QS al-Isrō’ (17) ayat 36].
Jadi baik niyatnya itu adalah amar ma‘rūf nahyi mungkar, ataupun hawa nafsu, maka semua ada pertanggungjawabannya.
Kalau tulisan kita itu benar, niyatnya benar, dan itu membawa kebaikan pada manusia, maka ia akan menjadi àmal jariyah kita.
Sedangkan jika tulisan itu salah, tak peduli niyatnya bagaimana, lalu ia diikuti oleh manusia, maka ia akan jadi dosa jariyah.
Kata Baginda Nabī ﷺ:
مَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَىْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ
(arti) _“Siapa saja yang mencontohkan perkara yang baik di dalam Islām, maka ia akan mendapat pahala dan juga pahala dari orang-orang yang mengàmalkan (apa yang dicontohkannya itu) sesudahnya tanpa mengurangi pahala mereka (orang yang mencontohnya) sedikit pun. Adapun siapa saja yang mencontohkan perkara yang buruk, maka ia akan mendapatkan dosa dan dosa dari orang-orang yang mengerjakan (apa yang dicontohkannya) sesudahnya tanpa mengurangi dosa mereka (orang yang mencontohnya) sedikit pun.”_ [HR Muslim no 1017; an-Nasāī no 2554; Ibnu Mājah no 203-8; Aḥmad no 18367, 18381, 18387, 18404; ad-Dārimī no 529].
Jadi janganlah tambahi dosa kita yang sudah banyak ini dengan dosa yang tak bisa kita hentikan, yaitu dosa orang lain yang mengikuti perkara buruk yang kita contohkan…!
Last but never the less…
Keempat: AGAMA INI NASIHAT
Adalah kewajiban kita untuk saling nasihat-menasihati di dalam kebenaran (tawāṣou bil-haq), karena agama ini adalah nasihat.
Jangan pernah merasa diri ini tak butuh nasihat. Karena manusia ini adalah sudah Sunnatullōh diciptakan sebagai "tukang berbuat kesalahan".
Jika saya salah, mohon nasihati saya dengan cara yang baik.
هدانا الله وإيكم أجمعين
نسأل الله السلامة والعافية في الدنيا والآخرة
Komentar
Posting Komentar