Tiada Ilah Yang Berhak Di‘ibâdahi Dengan Benar Selain الله

Syarat untuk menjadi ilah yang berhak di‘ibâdahi dengan benar itu hanya 2, yaitu:

⑴. Tidak terima investasi dari pihak lain.

⑵. Tidak bisa diinterupsi kehendaknya.


Artinya, ilah (sesembahan) itu tidak boleh butuh bantuan pihak lain.


Maka ketika ada yang mempertuhankan Nabî ‘Îsâ ibn Maryam عليه الصلاة و السلام dan ibunya, Maryam bintu ‘Imrôn رضي الله عنها, maka الله Subhânahu wa Ta‘âlâ cukup menjawabnya dengan 3 kata saja:


كَانَا يَأْكُلَانِ الطَّعَامَ


(arti) _“Keduanya dulu makan makanan.”_ [QS al-Mâ-idah (5) ayat 75].


Sederhana sekali jawaban itu, tapi sangat makjleb.


Iya, MAKJLEB.


Lah iya?


Coba deh, makan itu tak sederhana sebenarnya. Dari prosesnya saja, ada yang masak. Ada yang jual ingredientsnya, mulai dari bahan baku sampai bumbu. Harus ada alat masak (ini termasuk bikin panci, kompor, elpiji / minyak tanah). Maka coba ditarik terus sampai siapa yang jual itu bumbu, beras, daging, elpiji, dan alat-alat masak? Lebih jauh lagi, siapa yang produksi tanaman bumbu, mengerjakan sawah, memelihara ternak, dan menambang gas, juga alat-alat masak itu? Sampai kepada the ultimate, siapa sih yang menciptakan semuanya, mengatur semuanya, dan memelihara semuanya sehingga bisa jadi ingredients masakan dan jadi alat masak?


Coba…


Berapa banyak investasi pihak lain ketika kita makan ketoprak di abang-abang pengkolan deket rumah? Atau bakso di kantin kantoor? Atau Peking Duck di mall?


Jadi, kalau masih terima investasi pihak lain, maka jelas ia bukan ilah yang berhak untuk di‘ibâdahi dengan benar.


Adapun yang kedua, maka itu juga sangat jelas, karena kalau keputusannya bisa diinterupsi, apalagi diatur-atur sama pihak lain, ya jelas itu mah bukan ilah yang berhak untuk di‘ibâdahi dengan benar.


Paham ya?


أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rules of Engagement

Selektif Dalam Mencari Guru – Sebuah Tinjauan

Sutroh