Di Mana Allōh?

Ada satu pertanyaan yang pasti membuat debat yang seakan tiada habisnya, bukan karena ketiadaannya jawaban, akan tetapi karena memaksa memahami dengan logika semata. Pertanyaan itu adalah: "di mana Allōh ﷻ?".


Orang Atheist, karena ketidakmampuannya menjawab, mereka jadikan itu sebagai dakwaan bahwa Allōh ﷻ itu tak ada. Naȕżubillāhi min żālik.

Adapun bagi kaum Muslimīn Ahlus-Sunnah, maka kita meyakini bahwa Allōh ﷻ itu ada di atas Langit, sebagaimana ḥadīṫ mulia bahwa Baginda Nabī ﷺ pernah menanyakan kepada seorang budak perempuan tentang "di mana Allōh ﷻ" yang dijawab olehnya:

فِى السَّمَاءِ

(arti) _“Di atas Langit.”_

Ini dibenarkan oleh Allōh ﷻ di dalam firman-Nya:

ﺃَﺃَﻣِﻨﺘُﻢ ﻣَّﻦ ﻓِﻲ ﺍﻟﺴَّﻤَﺎﺀ ﺃَﻥ ﻳَﺨْﺴِﻒَ ﺑِﻜُﻢُ ﺍﻷَﺭْﺽَ ﻓَﺈِﺫَﺍ ﻫِﻲَ ﺗَﻤُﻮﺭُ

(arti) _“Apakah kalian merasa aman dari Robb yang berada di atas Langit, bahwa kalian akan dijungkirbalikkan dengan dibalikkannya Bumi, sehingga dengan tiba-tiba Bumi terguncang?”_

Allōh ﷻ itu istiwā’ di atas al-Àrṡ, sebagaimana firman-Nya:

الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَىٰ عَلَى الْعَرْشِ ۚ الرَّحْمَٰنُ فَاسْأَلْ بِهِ خَبِيرًا

(arti) _“(Robb) Yang menciptakan Langit dan Bumi dan apa-apa yang berada di antara keduanya selama 6 hari, kemudian Dia beristiwā’ di atas al-Àrṡ, (Dia-lah) Yang Maha Pemurah, maka bertanyalah kepada Żat yang Maha Mengetahui.”_

Adapun arti "istiwā’" itu mungkin untuk menerangkan secara àql mustahil, karena kesangat-terbatasan dari àql manusia itu sendiri (yang takkan sanggup untuk membayangkannya). Iya, membayangkannya saja àql pun takkan sanggup, maka begitulah kemahasucian, kemahaagungan, dan kemahamuliaan Allōh ﷻ.

Istiwā’ itu bukanlah "duduk", sedangkan al-Kursiyy (yang berada di atas al-Àrṡ) itu bukan pula "singgasana tempat duduk" Allōh ﷻ‎. Jadi jangan pernah sekalipun membayangkannya seperti raja-raja yang duduk di atas singgasananya. Jangan! Maha Suci Allōh ﷻ dari semua pembayangan / pemisalan…!

Cukup ayat suci ini yang menjadi peringatan:

وَلَمۡ يَكُن لَّهُۥ كُفُوًا أَحَدٌۢ

(arti) _“Dan tiada sesuatu apapun yang setara dengan-Nya.”_

Karena Allōh itu tak sama dan terpisah*ⁿ¹ dari maḳlūq-Nya (sedangkan al-Àrṡ dan al-Kursiyy itu adalah maḳlūq), sebagaimana kata Ṡaiḳul-Islām Ibnu Taimiyyah al-Ḥarrōnī:

وَقَدْ اتَّفَقَ سَلَفُ الْأُمَّةِ وَأَئِمَّتُهَا : عَلَى أَنَّ الْخَالِقَ تَعَالَى بَائِنٌ مِنْ مَخْلُوقَاتِهِ لَيْسَ فِي ذَاتِهِ شَيْءٌ مِنْ مَخْلُوقَاتِهِ وَلَا فِي مَخْلُوقَاتِهِ شَيْءٌ مِنْ ذَاتِهِ

(arti) _“Sudah menjadi kesepakatan dari ummat Islām dan para ùlamā’ Salaf bahwa Allōh terpisah dari maḳlūq-Nya. Tiada di dalam Żat-Nya sesuatu apapun dari maḳlūq ciptaan-Nya, dan tiada di dalam maḳlūq ciptaan-Nya sesuatu apapun dari Żat-Nya.”_

Kata Imām Ismāīl ibn Yahyā al-Muzaniyy al-Miṣriyy:

عَالٍ عَلَى عَرْشِهِ بَائِنٌ مِنْ خَلْقِهِ مَوْجُوْدٌ وَلَيْسَ بِمَعْدُوْمٍ وَلاَ بِمَفْقُوْدٍ

(arti) _“Allōh itu tinggi di atas Àrṡ-Nya, terpisah dari maḳlūq-Nya. Allōh itu ada, bukan sesuatu yang tiada, bukan pula sesuatu yang hilang.”_

Untuk bisa sedikit memberikan bayangan betapa besarnya al-Àrṡ itu, maka perhatikanlah ḥadīṫ mulia yang diriwayatkan dari ṣoḥābat Àbdullōh ibn Masùd رضي الله تعالى عبه berikut ini:

بَيْنَ السَّماءِ الدُّنْيَا والَّتِي تَلِيْهَا خَمْسُ مِئَةِ عَامٍ ، وَبَيْنَ كُلِّ سَمَاءٍ خَمْسُ مِئَةِ عَامٍ ، وَبَيْنَ السَّابِعَةِ وَالكُرْسِيِّ خَمْسُ مِئَةِ عَامٍ ، وَبَيْنَ الكُرْسِيِّ وَالماَءِ خَمْسُ مِئَةِ عَامٍ ، وَالكُرْسِيُّ فَوْقَ الماَءِ ، وَاللهُ فَوْقَ الكُرْسِيِّ ، ويَعْلَمُ مَا أَنْتُمْ عَلَيْهِ

(arti) _“Antara langit Dunia dengan langit berikutnya berjarak 500 tahun, dan jarak antara masing-masing langit adalah 500 tahun. Antara jarak Langit ke-7 dengan al-Kursiyy adalah 500 tahun. Sedangkan jarak antara al-Kursiyy dengan air adalah 500 tahun. Al-Kursiyy berada di atas air, sedangkan Allōh berada di atas al-Kursiyy. Tiada yang tersembunyi bagi-Nya dari àmal-àmal kalian.”_

Al-Àrṡ itu adalah maḳlūq Allōh yang paling tinggi dan paling besar. Maksudnya paling tinggi adalah Alam Semesta ini berakhir pada al-Àrṡ. Tiada lagi Alam Semesta*ⁿ¹ setelah al-Àrṡ.

Di dalam firman-Nya, Allōh ﷻ‎ mengatakan:

ذُو الْعَرْشِ الْمَجِيدُ

(arti) _“Yang mempunyai al-Àrṡ, lagi Maha Mulia.”_

Menurut Ṡaiḳ Àbdurroḥmān ibn Nāṣir as-Sa‘diyy dalam kitāb tafsīrnya, "al-majīd" itu adalah ṣifat yang menunjukkan kekuasan dan kebesaran, jadi artinya Maha Besar, Maha Agung, dan Maha Luas. Adapun Imām Ismāīl ibn Ùmar ibn Kaṫīr al-Quroiṡiyy ad-Dimaṡqiyy di dalam kitab tafsīrnya menyebutkan bahwa di dalam ayat suci yang dinukil di atas, disebutkan bahwa Allōh mempunyai al-Àrṡ yang Agung, dan Allōh itu Maha Besar, Maha Tinggi dari setiap maḳluq-Nya. Al-majīd sendiri ada 2 cara membacanya, yaitu: pertama bisa dengan al-majīdu yang berarti Allōh itu Maha Mulia (Maha Agung), dan yang kedua bisa dengan al-majīdi berarti al-Àrṡ Allōh itu yang begitu besar. Kedua makna ini ṣoḥīḥ.

Besarnya al-Àrṡ itu adalah seluas semua Langit dan Bumi digabung. Adapun al-Kursi dibandingkan dengan al-Àrṡ adalah seperti gelang yang dilemparkan di tengah-tengah padang pasir, sebagaimana ḥadīṫ mulia yang diriwayatkan dari ṣoḥābat Abū Żarr al-Ghifāriyy al-Kināniyy رضي الله تعالى عبه:

مَا الْكُرْسِيُّ فِي الْعَرْشِ إلَّا كَحَلْقَةٍ مِنْ حَدِيدٍ أُلْقِيَتْ بَيْن ظَهْرَيْ فَلَاة مِنْ الْأَرْض

(arti) _“Al-Kursiyy itu berada di al-Àrṡ, tiada lain hanyalah bagaikan sebuah gelang besi yang diletakkan di tengah padang pasir.”_

Al-Àrṡ laksanak "kubah" bagi Langit, ia berada di atas seluruh maḳlūq yang lain, tak ada maḳlūq yang lebih tinggi darinya, dan ia teramat sangat berat sebagaimana doà żikir pagi & petang:

سُبْحَانَ الله وَبِحَمْدِهِ عَدَدَ خَلْقِهِ ، وَرِضَا نَفْسِهِ ، وَزِنَةَ عَرْشِهِ ، وَمِدَادَ كَلِمَاتِهِ

(arti) _“Maha Suci Allōh, saya memuji-Nya sebanyak jumlah maḳlūq-Nya, seluas keriḍōan-Nya, seberat timbangan Àrṡ-Nya, dan sebanyak tinta untuk penulis kalimat-Nya.”_

Al-Àrṡ itu memiliki tiang-tiang yang dipikul oleh 8 Malā-ikat, sebagaimana kata Allōh ﷻ‎ di dalam firman-Nya:

وَالْمَلَكُ عَلَىٰ أَرْجَائِهَا ۚوَيَحْمِلُ عَرْشَ رَبِّكَ فَوْقَهُمْ يَوْمَئِذٍ ثَمَانِيَةٌ

(arti) _“Dan Malā-ikat yang berada di penjuru-penjuru Langit. Dan pada hari itu 8 Malā-ikat yang menjunjung Àrṡ Robbmu di atas (kepala) mereka.”_

Adapun ukuran dari Malā-ikat yang memikulnya adalah sebagaimana ḥadīṫ mulia yang diriwayatkan dari Ṣoḥābat Jābir ibn Àbdillāh رضي الله تعالى عبه, bahwa Baginda Nabī ﷺ‎ bersabda:

أُذِنَ لِى أَنْ أُحَدِّثَ عَنْ مَلَكٍ مِنْ مَلاَئِكَةِ اللَّهِ مِنْ حَمَلَةِ الْعَرْشِ إِنَّ مَا بَيْنَ شَحْمَةِ أُذُنِهِ إِلَى عَاتِقِهِ مَسِيرَةُ سَبْعِمِائَةِ عَامٍ

(arti) _“Aku diizinkan untuk menceritakan tentang salah satu Malā-ikat Allōh pemikul al-Àrṡ, yang mana jarak antara bagian bawah daun telinga dengan pundaknya adalah sejauh 700 tahun perjalanan.”_

Di atas sebelumnya disebutkan bahwa jarak antara langit ke langit itu adalah 500 tahun perjalanan, dan kemudian jarak antara daun telinga dengan bahu Malā-ikat pemikul al-Àrṡ adalah 700 tahun perjalanan. Kita tak punya informasi apakah perjalanan itu ditempuh dengan apa, namun yang jelas mau pakai kuda sekalipun, 500 atau 700 tahun itu adalah waktu yang teramat sangat lama.

Hal ini memang di luar kemampuan pemahaman àql manusia yang sangat-sangat terbatas. Iya karena ìlmu Allōh ﷻ yang Allōh turunkan ke Bumi hanya 1/100 saja dari keseluruhan ìlmu Allōh sebagaimana ḥadīṫ mulia:

جَعَلَ اللَّهُ الرَّحْمَةَ مِائَةَ جُزْءٍ فَأَمْسَكَ عِنْدَهُ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ جُزْءًا وَأَنْزَلَ فِي الْأَرْضِ جُزْءًا وَاحِدًا فَمِنْ ذَلِكَ الْجُزْءِ يَتَرَاحَمُ الْخَلْقُ حَتَّى تَرْفَعَ الْفَرَسُ حَافِرَهَا عَنْ وَلَدِهَا خَشْيَةَ أَنْ تُصِيبَهُ

(arti) _“Allōh menjadikan roḥmat 100 bagian, Dia menyimpan 99 bagian, dan menurunkan 1 bagian ke Bumi. Dari yang 1 bagian itu maka maḳlūq-maḳlūq saling berkasih-sayang satu sama lainnya, sehingga induk kuda mengangkat kakinya dari anaknya karena takut menginjaknya.”_

Perspektif manusia itu sangat-sangat terbatas, àql & logika manusia takkan mampu membayangkan kemahaagungan, kemahatinggian, dan kemahamuliaan Allōh ﷻ. Not even greatest mind of our time such of Albert Einstein nor Steven W Hawking could. Itulah kenapa tak usah berkutat memikirkan pertanyaan yang takkan mampu dijawab dengan àql seperti "di mana Allōh" itu, karena ia hanya bisa dijawab dengan wahyu yang dipahami dengan pemahaman yang benar, yaitu pemahamannya Salafuṣ-Ṣōliḥ.

هدانا الله و إياكم أجمعين

… … …

*ⁿ¹ Makna "terpisah"nya Żat Allōh dengan al-Àrṡ dan al-Kursiyy ini juga tak sama dengan keterpisahan / berjaraknya maḳlūq. Keterpisahan Allōh ﷻ‎ itu adalah sesuai dengan kemahaagungan, kemahasucian, dan kemahamuliaan Allōh ﷻ‎.

*ⁿ² Alam Semesta adalah segala sesuatu yang Allōh ﷻ‎ ciptakan, atau dalam bahasa IPTek adalah segala sesuatu yang menempati dimensi ruang dan dimensi waktu, serta terkena ketentuan fisika klasik dan quantum-mekanik.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rules of Engagement

Selektif Dalam Mencari Guru – Sebuah Tinjauan

Penguasa Zhōlim Belum Tentu Cerminan Rakyat Yang Buruk