Iṫbāt Maknanya, Tafwīḍ Bagaimananya

Entah kenapa debat soal Ṣifat Allōh tak selesai-selesai lah di Jagad FB ini. Namun yang jahat adalah ketika ada yang menuduh bahwa yang mengiṫbāt ṣifāt Allōh itu sama dengan menjisimkan (membendakan) Allōh.


Subḥanallōh… Maha Suci Allōh.

Saya bukan ahli dalam bahasa Àrab, akan tetapi saya memakai logika tentang kenapa saya harus mengiṫbāt untuk makna dan mentafwīḍ untuk kaif-nya, BUKAN ta’wīl untuk keduanya, dan BUKAN pula tafwīḍ untuk keduanya.

Pertama, kogika saya adalah: kalau memang "tangan" itu harus dita’wīl sebagai "kekuatan", maka kenapa sampai perlu banget di dalam firman-Nya dalam al-Qur-ān Allōh ﷻ‎ sebutkan:

قَالَ يَا إِبْلِيسُ مَا مَنَعَكَ أَنْ تَسْجُدَ لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّۖأَسْتَكْبَرْتَ أَمْ كُنْتَ مِنَ الْعَالِينَ

(arti) _“(Allōh) Berfirman: "Wahai Iblīs, apakah yang menghalangi kamu untuk bersujud kepada yang telah Aku ciptakan dengan kedua tangan-Ku? Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) termasuk orang-orang yang (lebih) tinggi?”_

Kemudian ada ḥadīṫ mulia yang mengatakan:

وَكِلْتَا يَدَيْهِ يَمِينٌ

(arti) _“Kedua tangan Allōh kanan.”_

Pada naṣ di atas jelas disebutkan bahwa Allōh ﷻ‎ memiliki 2 tangan. Maka jikalau tangan (يد) itu dita’wīl sebagai "kekuatan" (أيد), maka akan timbul pertanyaan:
⑴. Kenapa ada 2 kekuatan, lalu apa bedanya antara kekuatan nomor satu dengan kekuatan nomor dua?
⑵. Kenapa ada 2 kekuatan yang harus jenisnya kanan semua?

Kemudian di dalam riwayat dari Àbdullōh ibn Ùmar رضي الله تعالى عبه:

خلق الله أربعة أشياء بيده : العرش والقلم وعدن وآدم ، ثم قال لسائر الخلق : كن ، فيكون

(arti) _“Allōh menciptakan 4 hal dengan tangan-Nya: Àrṡ, pena, Syurga Adn, dan Ādam. Kemudian berfirman untuk seluruh maḳlūq: "Jadilah! Maka terjadi."”_

Maka akan timbul pertanyaan: kalau tangan = "kekuatan", maka apa bedanya antara kekuatan yang "tangan" dengan kekuatan yang "kun, fayakūn"?

Secara logis, tangan itu ya harus dimaknai "tangan", atau diiṫbāt. Itu lebih selamat. Terima apa adanya dari naṣ. Sedangkan soal kaif (bagaimana)nya, maka serahkan kepada Allōh, atau tafwīḍ. Sebab otak / àql kita takkan pernah bisa mampu untuk menganalisanya. Karena yang mengatakan bahwa Allōh punya 2 tangan adalah Allōh sendiri, dan yang mengatakan bahwa tangan Allōh ada 2 yang kanan semua, adalah Baginda Nabī ﷺ‎. Jadi ya terima saja, dan tak usah bertanya-tanya tentang kaif (bagaimana)nya. Saya ikut pendapat yang mengatakan wajib iṫbāt (menetapkan) untuk makna, namun wajib untuk menyerahkan kepada Allōh ﷻ (tafwīḍ) untuk kaif (bagaimana)nya‎.

Kenapa?

Karena Allōh ﷻ‎ mengatakan di dalam firman-Nya: "laisa kamiṫlihī" (arti: tiada siapa pun yang sama dengan Allōh), dan Allōh juga mengatakan di dalam firman-Nya: "walam yakullahū kufuwan aḥad" (arti: tiada siapa pun yang setara dengan Allōh).

Imām Mālik ibn Anas al-Madaniyy ketika ditanyakan tentang istiwā’, maka Beliau menjawab:

الكيف غير معقول ، والاستواء منه غير مجهول - يعني : معلوم لدينا أنه استوى بمعنى : علا وارتفع - والإيمان به واجب على ما جاءت به النصوص من غير تأويل ولا تحريف ، والسؤال عنه بدعة

(arti) _“Kaifiyyah-nya takkan bisa dipikirkan, dan makna istiwā’ adalah bukan sesuatu yang tak diketahui yaitu: sudah jelas bagi kita bahwa istawā’ maknanya "tinggi", dan mengīmāninya adalah wajib sebagaimana yang telah datang dalam naṣ-naṣ tanpa ta’wīl dan taḥrīf, sedangkan bertanya tentangnya adalah bidàh.”_

Maka tangan Allōh itu ma‘lūm (diketahui maknanya), dan bagaimananya adalah majhūl (tak diketahui), adapun berīmān dengannya adalah wajib, sedangkan bertanya tentang bagaimana (kaif)nya adalah bidàh.

Al-Qur-ān diturunkan oleh Allōh ﷻ‎ melalui perantaraan Malā-ikat Jibrīl kepada Baginda Nabī ﷺ‎, di mana Allōh mengatakan di dalam firman-Nya:

مَا أَنزَلْنَا عَلَيْكَ الْقُرْآنَ لِتَشْقَىٰ

(arti) _“Kami tidaklah menurunkan al-Qur-ān ini kepada kamu (Muḥammad) agar kamu menjadi susah.”_

dan Allōh ﷻ‎ juga mengulang-ulang di dalam al-Qur-ān:

وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْآنَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِن مُّدَّكِرٍ

(arti) _“Dan sungguh-sungguh telah Kami mudahkan al-Qur-ān untuk berżikir, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?”_

Jadi secara logis, tak mungkin makna tangan itu tak diketahui atau tak dipahami oleh Baginda Nabī ﷺ‎ dan para Ṣoḥābat. Namun para Salafuṣ-Ṣōliḥ, mereka berhenti sampai di maknanya itu saja, tidak melanjutkannya.

Itulah konsep yang saya yakini, yaitu "Manhaj Iṫbāt" untuk makna, dan saya termasuk dari muṫabbitīn (arti: orang yang mengiṫbāt) ṣifāt Allōh, dan "Manhaj Tafwīḍ" untuk kaif (bagaimana)nya. Ini memang ijtihād, memilih apa yang lebih selamat.

Adapun menta’wīl, maka itu adalah perkiraan, dan jelas kalau mengira-ngira maka kemungkinan jatuh salahnya lebih besar. Sebab, tak ada dalam naṣ itu sendiri bahwa tangan itu diterangkan sebagai "kekuatan". Yang melakukan ta’wīl pun mereka juga berijtihād, namun tak semua ijtihād itu pasti arahnya ke yang lebih selamat. Karena kaum Mu‘tazilah melakukan ta‘ṭil sebagai ijtihād, dan mereka meyakini itu yang selamat.

Demikian, semoga bermanfaat.

هدانا الله وإياكم أجمعين

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rules of Engagement

Selektif Dalam Mencari Guru – Sebuah Tinjauan

Penguasa Zhōlim Belum Tentu Cerminan Rakyat Yang Buruk