Malu
Hampir semua Muslimīn pasti tahu hadīts mulia bahwa rasa malu itu adalah salah satu cabang dari cabang-cabang keīmānan… yang mana konsekwensinya adalah tidak punya rasa malu, maka rusak keīmānannya.
Namun masalahnya sekarang adalah bukan tidak punya (atau rendahnya) rasa malu, tapi salah menempatkan rasa malu itu. Rasa malu itu seharusnya adalah malu ketika melakukan melakukan maksiyat.
Contohnya, beberapa waktu lalu viral postingan seseorang yang bangga membelikan istrinya pembalut wanita (sanitary napkin), di mana muncul pro kontra. Pihak yang kontra mengatakan kok ya nggak punya malu…
Halah halah… saya sebagai orang yang pernah bekerja di manufaktur sanitary napkin terbesar di Dunia ketawa bacanya, karena dulu tiap bulan pasti membawa pulanf pembagian pembalut hasil produksi. Saya santai saja, apanya yang dimaluin? Kan bukan saya yang pakai, dan barangnya pun halāl didapatkannya. Bahkan seorang suami membelikan istrinya lingerie pun tak perlu malu, selama itu dipakainya sesuai peruntukan, karena tidak ada aurōt antara suami dan istri.
Salah menempatkan rasa malu sebenarnya kalau kita lihat sudah begitu parah bahkan sampai ke strata kepemimpinan. Lihat saja, ketika mereka malu menunjukkan keislāmannya (berislām secara kāffah), tetapi mereka tak malu ketika berbuat kriminal seperti korupsi dan ingkar janji. Atau tak merasa malu menunjukkan kesukaannya menonton filem bokep. Atau lebih parah, tak malu mencitrakan dirinya begini dan begitu, padahal aslinya sama sekali bukan.
Di sosial media pun kita lihat banyak oknum-oknum yang pamer ‘ilmu sok tahu padahal ia hanya "orang kecil" demi mendapatkan "like" dan dianggap ‘alim.
Begitulah fenomena di zaman sosial media ini.
Semoga Allōh ﷻ melindungi kita dari rasa tak punya malu atau salah menempatkan rasa malu.
Komentar
Posting Komentar