Seandainya Itu Baik…
GPK Kokohiyyun itu suka sekali mengusung perkataan: "lau kâna khoyron lasabaqûna ilaihi" yang terjemahan bebasnya adalah: kalau seandainya sesuatu itu baik, maka para Shohâbat telah mendahului kita melakukan hal tersebut.
Perkataan tersebut lalu mereka jadikan qoidah baku untuk menyerang ‘amalan Ummat Islâm lain di luar gerombolan mereka yang mereka anggap menyelisihi. Misalnya dulu kasus ODOJ, dan sekarang video "Ada Apa Dengan Niqob"nya Ahmad Zaki.
Benarkah seperti itu cara beragamanya para ‘Ulamâ’ Robbani?
📍 Kata Imâm as-Sa‘d at-Taftâzânî رحمه الله:
ومن الجهلة من يجعل كل أمرلم يكن في زمن الصحابة بدعة مذ مومة وإن لم يقم دليل على قبحه ، تمسكا بقوله عليه الصلاة والسلام إياكم ومحدثات الأهور
(arti) _“Di antara orang-orang yang DUNGU ada yang menghukumi setiap perkara yang tidak ada pada zaman Shohâbat sebagai bid‘ah yang tercela, meskipun tidak ada dalîl yang menunjukkan keburukannya. Karena (mereka) berpegang kepada zhohir hadîts Nabî ‘alayhi ash-sholâtu was-salâm: "berhati-hatilah kalian dari perkara-perkara baru…".”_ [lihat: Syarhu al-Maqôshid II/271].
Nah…!
Jelas kan bahwa tidak semua yang tidak ada pada zamannya para Shohâbat itu dapat dihukumi sebagai bid‘ah yang sesat?
Sebab kalau tidak, maka bisa dibalikkan lagi ke mereka:
✓ Seandainya nyinyir à la Kokohiyyun itu baik, niscaya para Salafush-Shôlih pasti melakukannya.
✓ Seandainya dzikir pagi dan petang wajib memakai buku si al-Ustadzuna Fulân, maka tentu para Shohâbat telah melakukannya.
✓ Seandainya kajian di hotel-hotel mewah dan berbayar mahal itu baik, maka tentunya para Shohâbat telah melakukannya dengan menda’wahi hanya orang-orang kaya saja.
✓ Seandainya da‘wah pakai radio / tv itu baik, maka tentunya dulu para Shohâbat telah melakukannya.
Dst dst…
Ya memang bisa saja GPK Kokohiyyun itu lalu berargumen bahwa dulu kan belum ada buku dan teknik percetakan, dulu belum ada radio, dst… jadi itu urusannya bukan tak mau, tapi tak mampu…
Maka tetap saja ternyata TIDAK SEMUA hal baru itu buruk, bukan?
Kuncinya, perhatikan dan teliti saja apakah ada atau tidak larangan yang jelas dari dalîl terhadapnya?
Atau apakah ada atau tidak bantahan dari banyak ‘ulamâ’ sungguhan yang benar-benar memahami perkara tersebut? ‘Ulamâ’ sungguhan ya, bukan dari yang di-‘ulamâ’-kan oleh GPK Kokohiyyun?! Apalagi ngustad-ngustad Pesbuk wa Blogger yang nggak mutu!
Kalau tidak ada, maka fiqih dalam agama itu luas.
📌 Kata Baginda Nabî صلى الله عليه وسلم:
إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلاَّ غَلَبَهُ ، فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا ، وَاسْتَعِينُوا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَىْءٍ مِنَ الدُّلْجَةِ
(arti) _“Sungguh agama itu mudah, dan sekali-kali tidaklah seseorang memperberat agama melainkan ia akan dikalahkan (tak mampu melaksanakannya), dan (dalam ber‘amal) hendaklah mendekat pada kebenaran (yaitu pertengahan, tak berlebihan dan tak mengurangi), dan berilah kabar gembira, serta mohonlah pertolongan (di dalam keta'atan kepada Allôh) dengan ber‘amal pada al-ghodwah (awal pagi) dan ar-ruhah (ba‘da Zhuhur) dan sesuatu dari ad-duljah (waktu malam).”_ [HR al-Bukhôrî no 39; an-Nasâ-i no 5034].
☠ Janganlah agama dipersempit dikarenakan wawasan yang cupet akibat tak bergaul, atau karena ‘ilmu yang dangkal akibat tak jelas sanad ke‘ilmuannya, apalagi karena hasad dan ghill di hati yang pangkalnya adalah rebutan jamâ‘ah.
نَسْأَلُ اللهَ الْسَلَامَةَ وَالْعَافِيَةَ
Komentar
Posting Komentar