Tentang Zakāt Profesi

Sebagian ùlamā’ mutaqoddimīn mengatakan bahwa ada yang namanya "Zakāt Profesi" terhadap orang-orang yang memiliki penghasilan rutin dari gaji / honorarium / upah. Ini didasarkan pada ijtihād yang pernah diambil oleh Ḳolīfah Ùmar ibn Àbdul-Àzīz رحمه اللـه تعالى. Alasannya adalah apabila petani yang setiap kali panen terkena kewajiban zakāt, maka tentunya pegawai juga harus terkena kewajiban zakāt setiap kali mereka gajian / menerima upah. Maka berdasarkan itu, diambil-lah qiyās terhadap "Zakat Profesi" dengan dasar Zakāt Pertanian.


Bagaimana aturannya?

Sebagaimana Zakāt Pertanian, maka niṣōbnya adalah 5 wasq, di mana 1 wasq itu setara 60 ṣō’ sedangkan 1 ṣō’ itu adalah antara 2,176kG s/d 3,25kG (tergantung mażhab). Jadi 1 wasaq itu adalah sekira 653kG s/d 975kG.

Apabila dianggap harga beras rata-rata adalah Rp 15.000,- maka niṣōbnya adalah (penghasilan bersih / take home pay minimum) antara Rp 9,795juta s/d Rp 14,625juta.

Nah rate zakātnya lalu ditetapkan 2,5% setiap kali menerima penghasilan (gaji, komisi, dlsb).

Bagi saya pribadi ini yang terlihat jadi janggal dan sampai saat ini pendapat yang mengatakan "Zakāt Profesi" tak tidak bisa saya terima, sebab:

1️⃣ Tidak ada dalīl ṣoriḥ & qoṭìyy tentang "Zakāt Profesi".

Padahal, profesi tukang besi, tukang kayu, pedagang, pemburu, guru, pegawai, pelayan, tukang masak / restoran, buruh, pegawai pemerintah, dan yang lainnya itu sudah ada dari semenjak dulu (division of labor). Bahkan Ḳolīfah Abū Bakr رضي اللـه تعالى عنه diberikan gaji atas saran Ùmar ibn al-Ḳoṭṭōb رضي اللـه تعالى عنه.

Partanyaannya kenapa Baginda Nabī ﷺ‎ dan para Ḳulāfa’ur-Rōṣidīn itu رضي اللـه تعالى عنهم itu tidak pernah menetapkan "Zakāt Profesi"?

Maka jawabannya bagi saya hanya ada 2, yaitu:
⑴. Karena memang "Zakāt Profesi" itu bukan bagian dari Ṡariàt, atau
⑵. "Zakāt Profesi" itu adalah hal baru yang diada-adakan di dalam agama Islām.

2️⃣ Kalau tidak ada dalīlnya yang ṣoriḥ & qoṭìyy, maka qiyās "Zakat Profesi" itu apa?

Jangan katakan bahwa "Zakāt Profesi" bagian dari Zakāt Māl, karena pada "Zakāt Profesi" itu:
- ḥaulnya saat menerima penghasilan,
- niṣobnya adalah setara 5 wasq, sedangkan
- rate zakātnya adalah 2,5%.

Hal ini adalah aneh, kenapa mencampur-campur (talfīq) begitu antara ketentuan Zakāt Māl dengan ketentuan Zakāt Pertanian…?

Harusnya kalau dianggap "Zakāt Profesi" itu sebagai bagian Zakāt Māl, maka ḥaulnya adalah 12 bulan, niṣobnya adalah 20 Dīnār, dan rate zakātnya adalah 2,5%. Sedangkan kalau itu diqiyāskan sebagai Zakāt Pertanian, maka ḥaulnya adalah setiap kali panen, niṣobnya setara 5 wasq, dan rate zakātnya 5% atau 10% - yang mana ini akan menimbulkan masalah baru, karena apa kriteria profesi yang kena 5% lalu apa kriteria profesi yang kena 10%?

3️⃣ Bagaimana dengan orang yang membayarkan "Zakāt Profesi" lalu tetap bisa menabung?

Apabila "Zakāt Profesi" itu dianggap sebagai bagian dari Zakāt Māl, maka apabila ada orang dengan profesi tertentu sudah mengeluarkan "Zakāt Profesi"nya setiap bulan (tiap ia mendapatkan penghasilan) namun ia tetap bisa menabung hingga punya lebih dari 20 Dīnār, maka pertanyaannya adalah: apakah ia harus mengeluarkan 2 macam zakāt: "Zakāt Profesi" dan Zakāt Māl setiap tahunnya atas penghasilan yang ia tabung pada tahun bersangkutan padahal ia sudah mengeluarkan zakāt atasnya?

4️⃣ Terakhir, apa ḥukum menolak "Zakāt Profesi"?

Karena zakāt itu adalah infaq yang ṣifatnya wajib (di dalam al-Qur-ān selalu perintahnya: "mendirikan ṣolāt dan berikan zakāt"), maka apakah mengingkari kewajiban zakāt itu ḥukumnya adalah "murtadd kāfir", sedangkan enggan memberikannya adalah "dosa besar"?

Maka apa ḥukumnya menolak dan enggan membayarkan "Zakāt Profesi"?

Jangan katakan bahwa karena ia adalah ijtihādiyyah ṣifatnya maka ia tak bisa diḥukumi mutlak sebagaimana zakāt biasa. Sebab apabila ṣolāt, zakāt, ṣoum (Romaḍōn), dan ḥajji (bagi yang mampu) itu semuanya wajib dan aturannya jelas, sedangkan jika menolaknya maka ḥukumnya adalah murtadd kāfir. Maka masa "Zakāt Profesi" wajib tapi ḥukumnya abu-abu?

Jadi rasanya tak bisa dikatakan sebagai kewajiban tetapi ṣifatnya ijtihādiyyah, apalagi itu pendapat oleh ùlamā’ mutaqoddimīn.

So… bagaimana menurut anda?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Penguasa Zhōlim Belum Tentu Cerminan Rakyat Yang Buruk

Selektif Dalam Mencari Guru – Sebuah Tinjauan

Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah!