Kisah Yankee Bravo Juliet Six (YBJ-6)
Di museum Tridaya Eka Dharma, Bukittinggi, terdapat sebuah koleksi sejarah berupa sebuah kotak logam besar mirip lemari berwarna hitam dengan tulisan berwarna kuning YBJ-6, Freq 9085 KC/S.
Ini adalah radio High Frequency dengan call-sign Yankee Bravo Juliet Six yang sangat bersejarah dan sangat penting di dalam Revolusi Perjuangan Kemerdekaan Indonesia 1945-1949.
Kenapa sangat penting…?
Mari kita bahas…
Kisah Radio YBJ-6 ini dimulai ketika Belanda melancarkan Agresi Militer II pada 19 Desember 1948 (yang oleh Belanda disebut Politionele Actie dengan kode Operation Kraai) yang berhasil merebut Djogdjakarta dan kota-kota besar di Djawa dan Soematera. Boekittinggi pun juga menjadi sasaran serangan Belanda, dan pada hari itu juga stasiun pemancar radio PTT di Ateh Loerah Tarok, stasiun penerima radio PTT di Garegeh, stasiun pemancar radio TRI, dan RRI di Benteng semuanya menjadi sasaran serangan Belanda.
Gedung stasiun pemancar radio Jawatan PTT di Ateh Loerah Tarok rusak dibombardir, namun berkat pertolongan Allōh ﷻ perangkat pemancar radio YBJ-6 yang ada di dalamnya selamat karena bom yang jatuh di dekatnya tidak meledak. Maka para pegawai PTT berinisiatif membongkar pemancar radio YBJ-6 beserta perangkat pendukung pengoperasiannya, seperti: generator, kunci-kunci morse, kawat antena, drum oli dan bensin, lalu dinaikkan ke atas truk pada malam itu juga untuk dibawa ke Halaban, di perkebunan teh Gn Sago, Kab Limopoeloeah Koto.
Keesokan harinya (20 Desember 1948), radio pemancar tersebut ditempatkan di markas Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). PDRI ini sendiri dibentuk berdasarkan atas mandat dari Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta kepada Mr Sjafroeddin Prawiranegara sebagai Ketua dari PDRI.
Untuk diketahui, pemancar radio YBJ-6 ini bukanlah pemancar radio siaran AM/FM seperti yang kita kenal sekarang, akan tetapi ia adalah radio komunikasi High Frequency (dalam bentuk morse & broadcast) yang hanya dapat diterima oleh stasiun radio telekomunikasi yang dituju. Jadi apabila berita berhasil sampai di radio yang dituju, maka selanjutnya pegawai stasiun radio tersebut akan mengetikkan beritanya di atas selembar kertas, lalu menyerahkannya kepada si teralamat dalam bentuk surat telegram untuk dibaca.
Kenapa Radio YBJ-6 ini begitu penting dan dicari-cari oleh Belanda?
Sebelum ibukota RI, Djogdjakarta jatuh, di antara Indonesia dengan India telah ada jalur hubungan radio telegraf melalui pemancar radio VWX-2 milik Pemerintah India. Ketika pada Agresi Militer II Belanda berhasil menangkap Presiden dan Wakil Presiden dan menduduki Djogdjakarta, maka Belanda melakukan black-out komunikasi RI untuk mengesankan kepada Dunia bahwa RI sudah tidak ada lagi. Maka sangat penting untuk menyambung kembali jalur komunikasi yang pernah ada, dan untuk itu Pemerintah PDRI memerintahkan anggota PTT yang menjadi awak operator YBJ-6 agar mengusahakan tersambungnya jalur telekomunikasi dengan India dengan menggunakan pemancar radio YBJ-6 – walau sebelumnya YBJ-6 tak pernah sama sekali berhubungan dengan dengan pemancar radio VWX-2 milik Pemerintah India.
YBJ-6 ini menjadi satu-satunya pemancar radio yang bertahan di Sumatera Tengah saat itu. Dengan berat perangkat totalnya lebih dari 1 Ton, ia digotong oleh para pejuang melintasi rimba, menyeberangi sungai, mendaki bukit, dan meniti ngarai di wilayah Sumatera bagian tengah. Dari Boekittinggi, menuju Kab Limopoeloeah Koto, lalu ke Kab Tanah Datar, bahkan sampai ke daerah Solok Selatan, demi tidak terputusnya komunikasi dengan Dunia. Karena Dunia harus tahu bahwa RI masih ada - dan hanya itu yang ada di dalam benak para pejuang, dan mereka tetap teguh meskipun gempuran Belanda terus mengintai, dan nyawa mereka yang menjadi taruhannya.
Para pejuang anggota PTT itu menanamkan satu hal dalam hati mereka, yaitu: "Terus berjuang! Merdeka ataoe Mati.".
Dengan bermodal perkiraan yang ṣifatnya untung-untungan, mulai dari tanggal 14 Januari 1949, awak operator YBJ-6 terus berusaha untuk melakukan panggilan kepada pemancar radio VWX-2 India, baik dalam bentuk radio morse maupun secara broadcast. Usaha yang dilakukan oleh awak operator PTT tersebut pada awalnya tanpa hasil, namun dengan tak kenal lelah, akhirnya membuahkan hasil di mana pada 17 Januari 1949, pemancar radio VWX-2 India mengirim radio morse sebagai balasan terhadap panggilan pemancar radio YBJ-6. Dengan demikian, tembuslah blokade komunikasi Belanda dan keberhasilan tersebut dilaporkan kepada Ketua PDRI dan Gubernur Militer Soematera.
Maka pada 19 Januari 1949, Mr Sjafroeddin Prawiranegara sebagai Ketua PDRI mengirimkan radio telegram (morse) pertama kepada dr Soedarsono (Kepala Perwakilan RI di New Delhi). Inti dari radio telegram itu adalah harapan agar Inter Asian Relation Conference (IARC) II yang diselenggarakan pada 20-25 Januari 1949 di New Delhi, dapat menemukan solusi yang àdil untuk menghentikan Agresi Militer Belanda di Indonesia. Sedangkan apabila solusi tersebut tak bisa dilaksanakan meskipun ada tekanan internasional terhadap Belanda, maka rakyat Indonesia siap untuk terus melanjutkan perjuangan sampai tercapainya tujuan kebebasan dan pemerintahan sendiri.
Kemudian pada hari yang sama, kembali pemancar radio YBJ-6 dari Kp Bodi, Tangah Padang, Balai Tangah, Lintau, Ranah Minang, berhasil mengirimkan radio telegram Ketua PDRI tentang pengangkatan Mr AA Maramis sebagai Menteri Luar Negeri PDRI dan berkedudukan di India.
Belanda sebenarnya tak tinggal diam dan terus berusaha mencari pemancar radio YBJ-6 tersebut, dan pada Ṣubuh 15 Januari 1949 Belanda melakukan serangan yang sangat brutal di Nagari Sitoejoeah Batoea, Kec Sitoejoeah Limo Nagari, Kab Limopoeloeah Koto. Belanda mendapatkan info bahwa pada malam 14 Januari-nya, para para pemimpin sipil dan militer pejuang PDRI tengah berkumpul di sebuah rumah di Loerah Kincia, Sitoejoeah Batoea, untuk melakukan rapat. Gugur dalam serangan sebanyak 69 orang yang di antaranya adalah: Chatib Soelaiman, Arisoen Soetan Alamsjah, Moenir Latief, dan Kapten Tantowi.
Namun Belanda gagal mendapatkan lokasi pemancar radio YBJ-6. Maka ketika Halaban diserbu oleh Belanda dari arah Pajakoemboeah, perangkat pemancar radio YBJ-6 dibongkar untuk dipindahkan dari Kp Bodi ke Kp Lareh Aia di seberang Sei Batang Sinamar. Para pejuang pun memanggul perangkat radio yang berat total perangkatnya lebih dari 1 Ton itu melewati pedalaman hutan, menyeberango sungai, mendaki bukit, meniti lereng, dan menyusuri lembah. Sebelum pemindahan ini, pemancar radio YBJ-6 telah beroperasi di Kp Bodi Balai selama ≈ 2 bulan.
Karena terus dicari oleh Belanda, maka pemancar radio YBJ-6 dari Kp Lareh Aia lalu diangkut berpindah-pindah dengan dipikul melalui jalan setapak di tengah rimba ke Gn Talang, lalu ke Sangki Tingga, lalu ke Koto Panjang, lalu ke Tanjoeang Bonai Aoea, dan kemudian terus ke Sabiloeroe.
Di Sabiloeroe, pemancar radio YBJ-6 beroperasi ≈ 6 bulan. Di antaranya komunikasi yang dilakukan di sana adalah radio telegram antara WaPres Mohammad Hatta (yang sedang berada di Atjeh) dengan Ketua PDRI Mr Sjafroeddin Prawiranegara. Komunikasi ini terjadi setelah Soekarno & Hatta dibebaskan oleh Belanda. Setelah komunikasi tersebut, Mr Sjafroeddin Prawiranegara menyerahkan mandatnya kembali kepada Presiden Soekarno pada 13 Juli 1949.
Setelah di Sabiloeroe, pemancar radio YBJ-6 dibawa ke Sipoea dan terus ke Soempoea Koedoes, dan setelah rombongan gerilya mendengar info tentang Penyerahan Kedaulatan dari Belanda pada 19 Desember 1949, barulah pemancar radio YBJ-6 dibawa dari Soempoea Koedoes ke Oenggan, dan melalui hutan belantara dibawa ke Padang Roengo, lalu ke Tanjoeang Lansek, lalu Pamasian, terus ke Tembok Halaban, lalu ke Alang Laweh Halaban, sampai pada akhir Desember 1949 barulah rombongan gerilya pemancar radio YBJ-6 memasuki kota Boekittinggi. Pada awal Januari 1950, pemancar radio YBJ-6 telah beroperasi kembali di kota Boekittinggi.
Demikian kisah Yankee Bravo Juliet Six ini, semoga kisah ini dapat menggugah hati kaum Muslimīn Indonesia tentang kenapa kita harus terus mendukung kemerdekaan Palestina dan para Mujāhiddīn Ḥ4M4S.
Komentar
Posting Komentar