Penjajah Terburuk
Jika ada yang bilang penjajah terburuk adalah Portugal, lalu Belanda, sedangkan Inggris dikatakan sebagai paling perhatian terhadap bekas jajahannya, maka itu sebenarnya kurang tepat sebab para penjajah (Imperialis Kolonialis) itu semuanya jahat, kejam, dan sadis! Adapun yang membedakannya adalah mana yang paling jahat dan mana yang kurang jahat. Itu saja.
Iya benar memang Portugal itu tidak peduli terhadap bekas negara jajahannya, tetapi kalau mau dihitung the most evil of them all adalah PRANCIS.
Iya, Prancis… karena literally sampai sekarang masih mengangkangi negara-negara bekas jajahannya, khususnya di Afrika…!
Coba saja lihat, ada 14 negara di Afrika yang so-called sudah merdeka dari Perancis, tetapi…
👎 Mata uang mereka (CFA Franc) masih diatur oleh Prancis, di mana mereka harus mendepositkan setengah dari cadangan devisanya di bank sentral Prancis (Banque de France).
Alasan Prancis adalah untuk menjaga stabilitas nilai tukar dan arus ekspor-impor antara Prancis dan negara-negara anggota "Franc Zone". Enak ya bisa menyimpan duit orang yang sewaktu-waktu bisa dipakainya seenaknya?
👎 Perencanaan pembangunan nasional negara-negaea ex-koloni Prancis masih diatur di Paris, or at least, sebagian besarnya.
Tidak percaya?
Alkisah sebuah BUMN RI pernah ingin ikut dalam suatu project pembangunan di salah satu negara Francophone. Lalu dikirimlah utusan datang ke Kementerian yang terkait di negara tersebut. Ternyata utusan itu mendapat jawaban bahwa BUMN itu sebaiknya datang langsung ke Paris untuk mendapatkan info tentang rencana pembangunan negara yang dimaksud.
👎 Prancis juga masih memelihara keberadaan 3.000-5.000 orang pasukannya di Afrika, yaitu di kawasan Sahel Sub-Sahara.
Menurut Prancis, tujuannya adalah untuk membasmi kelompoks ekstrimis Islām bersenjata, namun setelah gagal membasmi, Macron menolak Prancis dijadikan kambing hitam untuk berbagai permasalahan di kawasan tersebut. Macron juga menolak menarik mundur pasukannya, tetap melanjutkan kebijakan "La Françafrique", namun menjanjikan "hubungan baru" antara Prancis dengan Afrika.
Adapun yang baru terjadi adalah kasus Niger (baca: ni-jheyr). Niger yang merupakan salah satu ex-jajahan Prancis (bedakan dengan Nigeria yang bekas jajahan Inggris), kaya dengan sumber daya alam seperti uranium, batu bara, biji besi, timah, fosfat, emas, dan juga minyak bumi. Luas wilayah Niger hampir 2x luas Prancis.
Niger ini mengalami coup d'état pada 26 Juli 2023. Presiden Mohamed Bazoum (MB) yang sangat pro Barat digulingkan oleh para perwira pasukan pengawal kepresidennya sendiri.
Dunia, dalam hal ini UN, Amrik, EU dan Ecowas (organisasi negara-negara di Afrika Barat) langsung bereaksi. Bahkan Ecowas dengan mengeluarkan ultimatum akan mengirimkan pasukan ke Niger (yang sebelumnya merupakan anggota ECOWAS) dalam 7 hari apabila para pelaku coup d'état tidak mengembalikan MB ke kursi kepresidenan.
Pemimpin coup d'état tak ambil peduli dengan ultimatum tersebut. Apalagi pemerintahan militer di dua negara Ecowas lainnya yang sebelumnya juga melakukan coup d'état (Burkina Faso & Mali) menyatakan akan mendukung pemerintah hasil coup d'état di Niger apabila Niger diserang oleh pasukan Ecowas. Ternyata pemerintahan hasil coup d'état itu juga mendapat dukungan rakyat Niger sendiri.
Setelah batas waktu 7 hari terlewati ternyata tak ada sinyal akan dilakukannya intervensi pasukan Ecowas ke Niger, mantan Presiden MB masih tetap ditahan, Kementrian Luar Negeri Nigeria dalam pernyataan persnya di depan perwakilan negara-negara asing di Abuja, dimana Presiden Nigeria (Ahmed Tinubu) mengetuai Ecowas, menyatakan Ecowas tetap memprioritaskan upaya diplomasi.
Ternyata tampak jelas terjadi keengganan di antara negara-negara anggota Ecowas untuk mengirim kontingen pasukan mereka bertarung nyawa hanya demi memuaskan keinginan "majikan" mereka, si Macron. Ya mudahnya mereka juga mikir, "Rakyat gue yang metong, lu yang enak-enak"… begitu kira-kira.
Belum ditambah dengan kemungkinan penolakan keras dari rakyat mereka masing-masing untuk memerangi sesama saudara mereka demi si vangkee kulit putih penjajah.
Note: Niger dan Nigeria ini asalnya adalah sama-sama etnis Fulani Hausa yabg beragama Islām, namun terpisah karena beda negara yang menjajah.
BTW, kalau kita simak, berbagai coup d'état yang terjadi di negara-negara Francophonie Afrika beberapa waktu belakangan ini, biasanya akan diikuti dengan sentimen anti-Perancis, semisal:
- Pengusiran pasukan Prancis seperti yang terjadi di Mali dan Burkina Faso;
- Demonstrasi besar di depan Kedubes Perancis (sebagian disertai dengan pengusiran Dubes Prancis); dan…
- Pengibaran bendera Russia oleh warga setempat.
Why Russia?
Well, demi mempertahankan tampuk kekuasaan dari segala macam coup d'état, berbagai regime di negara-negara Afrika, either mencari perlindungan (military & political support) dari Prancis atau dari ya siapa lagi kalau bukan Wagner-nya Russia? Well, paham kan kenapa si Yevgeny Prigozhin bisa masuk list Most Wanted by FBI sejak 2021?
Kenapa Prancis mau bantu para pemimpin coup d'état itu, padahal katanya mereka mendukung democracy?
Well UUD (ujung-ujungnya duit) lah! Apalagi memangnya?
Untuk menjaga eksistensinya di Afrika, Prancis terbiasa menggunakan 3 taktik, yaitu:
⑴. Mendukung pemerintahan yang cooperative terhadap kepentingan Prancis / Barat.
⑵. Memberikan sedikit bantuan pembangunan.
⑶. Menyediakan sedikit kemewahan bagi keluarga dari rezim penguasa.
In exchange for that…
👉 Apalagi kalau bukan Prancis diberikan hak menguasai sumber daya alam negara tersebut.
Namun semenjak Dekade 2000an things has changed. RRC sudah omnipresent di Afrika, mulai dari Afrika Barat, Tengah, hingga Timur, dan dari Afrika Utara sampai ke Selatan. Pembangunan yang dibiayai RRC menyebabkan kita dengan mudah menemui orang-orang etnis China ada di pelosok-pelosok terpencil di pedalaman Afrika.
Lalu datang pula Wagner, yang menurut Prancis dan negara-negarq Barat merupakan predator yang bernafsu menguasai tambang, emas dan minyak Afrika dengan melakukan kekejaman yang brutal – yang memang iya, track record kebrutalan Wagner terhadap rakyat Muslimīn Suriyah begitu mengerikan!
Jadi Perancis sekarang menghadapi 3 rival sekaligus, yaitu; RRC, Wagner (baca: Russia), dan warga lokal yang marah melihat ulah Prancis yang tamak bin loba.
Well, sebenarnya entah siapa yang terdepan dalam adu paling tamak dan paling brutal antara Prancis, RRC, dan Russia itu?
Dengan kematian Yevgeny Prigozhin, kita masih menunggu apa yang terjadi dengan rezim-rezim di Afrika yang selama ini mendapat jaminan keamanan dari Wagner (yang bayarannya tambang emas, minyak, berlian, etc). Namun yang jelas imigran illegal dari Afrika ke Eropa akan semakin sulit dicegah oleh si Macron dan Sunak.
Menariknya lagi, negara-negaea Francophonie kini seakan berlomba menjadi anggota Commonwealth-nya Inggris.
Loh kok bisa?
Ya bisa saja, apa sih yang nggak bisa? Jika dulu syarat menjadi anggota Commonwealth adalah pernah dijajah Inggris, kini syarat tersebut diubah adalah: "komitmen terhadap demokrasi". Maka Mozambique, Rwanda, Gabon, Togo pun join the club dan menjadi Commonwealth's Francophone sisters…!
Kenapa mereka tertarik menjadi anggota Commonwealth?
Ya akui sajalah, negara-negara ex-jajahan Prancis masih melihat Inggris cukup peduli dan mendukung pembangunan ex-jajahannya, dan juga mereka ingin "get their messages heard".
Tanya saja negara jiran kita tentang keuntungan apa yang mereka peroleh dengan menjadi anggota Commonwealth?
So, should we ask our President to join the club, given that Mr Raffles lived in Bengkulu and his wife burried in Bogor?
Komentar
Posting Komentar