Mendengarkan Keluhan Rakyat

Beberapa tahun lalu saya mengunjungi Museum Ullen Sentanu di DIY. Di sana saya mendapati foto raja-raja Mataram Islām itu di pakaian kebesarannya, telinganya memakai hiasan seakan jadi mirip telinganya kelinci. Lalu saya tanyakan ke petugas, ternyata memang iya maksudnya memang telinganya kelinci, yang melambangkan bahwa menjadi pemimpin itu berkewajiban peka mendengarkan keluhan rakyat.


Saya pun langsung relate, ini persis seperti apa yang dicontoh oleh junjungan kita, Baginda Nabī ﷺ‎.

Iya, banyak riwayat di mana Baginda Nabī ﷺ‎ itu mendengarkan keluhan rakyat yang seorang anak kecil sekalipun. Diriwayatkan dari Ṣoḥābat mulia Anas ibn Mālik رضي الله تعالى عنه (yang dititipkan oleh ibu kandungnya untuk menjadi pembantu Baginda Nabī ﷺ‎ semenjak usia 10 tahun) bahwa Baginda Nabī ﷺ itu biasa mendengarkan keluhan anak-anak, di mana suatu saat adiknya Anas yang masih kecil (sekira usia 3 tahun) mati burung peliharaannya sehingga ia jadi bersedih.

Mendapati hal itu, Baginda Nabī ﷺ‎ menghampirinya dan bertanya kepada adik Anas yang masih kecil itu:

يَا أَبَا عُمَيْرٍ مَا فَعَلَ ٱلنُّغَيْرُ

(arti) _“Wahai Abū Ùmair, ada apa dengan an-Nuġoir (nama burung peliharaannya –pent)?”_ [HR al-Buḳōriyy no 6129, 6203; Muslim no 2150; at-Tirmiżiyy no 333, 1989; Ibnu Mājah no 3720, 3740; Aḥmad no 11694, 11754, 12292, 12604, 12847, 13444, 13557].

Bahkan Baginda Nabī ﷺ‎ tak hanya mendengarkan keluhan anak kecil, keluhan hewan pun Beliau ﷺ‎ dengarkan sebagaimana dalam sebuah riwayat ketika Baginda Nabī ﷺ‎ memasuki kebun seorang lelaki al-Anṣōr, lalu tiba-tiba seekor onta menghampiri Beliau. Onta itu merintih dan kedua matanya mengeluarkan air mata menangis. Kemudian Beliau ﷺ‎ mengusap bagian belakang telinga onta itu, lalu onta itu pun diam dan tenang.

Baginda Nabī ﷺ‎ lalu bertanya: "Siapakah pemilik onta ini?", yang kemudian dijawab oleh seorang pemuda al-Anṣōr, "Saya, wahai Rosūlullōh."

Kemudian Baginda Nabī ﷺ‎ berkata:

أَفَلَا تَتَّقِي ٱللّٰـهَ فِي هَذِهِ ٱلْبَهِيمَةِ ٱلَّتِي مَلَّكَكَ ٱللّٰـهُ إِيَّاهَا فَإِنَّهُ شَكَا إِلَيَّ أَنَّكَ تُجِيعُهُ وَتُدْئِبُهُ

(arti) _“Tidakkah kamu bertaqwa kepada Allōh dalam memperlakukan hewan yang telah Allōh berikan ini? Sungguh-sungguh onta ini telah mengeluhkan kepadaku bahwa kamu telah menyiksanya dan membuatnya menjadi letih.”_ [HR Abū Dāwūd no 2549; Aḥmad no 1654].

Bahkan bukan hanya anak kecil dan hewan, benda-benda pun didengar keluhannya oleh Baginda Nabī ﷺ‎ sebagaimana sebuah riwayat dari Ṣoḥābat mulia Jābir ibn Àbdillāh رضي الله تعالى عنه:

كَانَ جِذْعٌ يَقُومُ إِلَيْهِ ٱلنَّبِيُّ ﷺ‎ فَلَمَّا وُضِعَ لَهُ ٱلْمِنْبَرُ سَمِعْنَا لِلْجِذْعِ مِثْلَ أَصْوَاتِ ٱلْعِشَارِ حَتَّى نَزَلَ ٱلنَّبِيُّ ﷺ‎ فَوَضَعَ يَدَهُ عَلَيْهِ

(arti) _“Pada mulanya Nabī ﷺ menggunakan batang kayu sebagai sandaran yang biasa Beliau gunakan saat ḳutbah. Ketika sudah dibuatkan minbar untuk Beliau, maka kami mendengar sesuatu dari batang kayu tersebut seperti suara onta hendak melahirkan, hingga akhirnya Nabī ﷺ turun lalu mengusapkan tangan Beliau pada kayu tersebut.”_ [HR al-Buḳōriyy no 918, 2095].

Contoh didikan Baginda Nabī ﷺ‎ itulah yang kemudian melahirkan pemimpin-pemimpin yang luar biasa tanggung-jawabnya kepada rakyat, seperti Ḳolīfah Ùmar ibn al-Ḳoṭṭōb رضي الله تعالى عنه.

Maka ketika Ḳolīfah Ùmar ibn al-Ḳoṭṭōb رضي الله تعالى عنه mengatakan:

لَوْ مَا تَتْ شَاةٌ عَلَى شَطِّ ٱلْفُرَاتِ ضَائِعَةً لَظَنَنْتُ أَنَّ ٱللّٰـهَ تَعَالَى سَائِلِي عَنْهَا يَوْمَ ٱلْقِيَامَةِ

(arti) _“Kalaulah ada anak kambing yang menjadi tanggung-jawabku mati di pinggiran sungai Eufrat, saya khawatir Allōh akan menanyaiku di Hari Qiyāmat.”_ [lihat: Ḥilyatul-Auliyā’].

Itu bukanlah sekedar lips service belaka macam politikus di zaman now saat masa kampanye untuk menarik simpati dan suara konstituennya.

Akan tetapi perkataan itu benar-benar terlahir dari jiwa yang telah dibersihkan oleh Baginda Nabī ﷺ‎. Jiwa yang menyadari betul bahwa tanggung-jawab seorang pemimpin itu kelak akan benar-benar ditanyakan oleh Allōh ﷻ‎.

Jadi tidak ada keputusan jahat yang lahir karena transaksi dagang sapi atau monkey business, lalu dicari-carikan dalīl pembenaran bahwa itu keputusan bersama yang telah melewati pertimbangan demi "kepentingan rakyat". Padahal suara rakyat cuma diambil pada saat di bilik suara, dan setelah itu yang dipikirkan ya hanya kepentingan kelompoknya saja atau bahkah kepentingan pribadi-pribadi pentolan kelompoknya.

Demikian renungan pagi ini, semoga bermanfaat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rules of Engagement

Selektif Dalam Mencari Guru – Sebuah Tinjauan

Penguasa Zhōlim Belum Tentu Cerminan Rakyat Yang Buruk