Kalau Sudah Benci Apapun Jadi Salah?
Kalimat ini jadi sering lewat di lini masa saya, terutama dari pendukung uAH (yang saat ini sedang dikritik terkait pertanyaan "mirip ya" antara al-Qur-ān surah Maryam ayat 30-31 dengan Injīl Johanes 3:16) yang ditujukan kepada para pengkritiknya.
❓ Seperti biasa, pertanyaan adalah tepatkah demikian?
‼️ Hakikatnya, kalimat "sudah benci maka apapun salah" itu berlaku untuk kedua belah pihak, baik kepada pihak pengkritik, maupun kepada pihak dengan yang dikritik.
❔ Kenapa?
Sebab…
🚫 Pada sisi pihak yang mengkritik, bisa jadi mencari-cari kesalahan, membesar-besarkan kesalahan, bahkan menyalahkan apa yang tidak salah (seperti misalnya dengan memotong-motong video atau memberikan judul yang tidak benar).
Sebaliknya…
🚫 Pada sisi pihak yang dikritik, bisa jadi mengecil-ngecilkan kesalahan, atau menutup-nutupi kesalahan, atau bahkan menganggap yang mengkritik mencari-cari kesalahan (seperti menuduh orang memotong-motong video padahal mau panjang atau pun pendek esensinya sudah jelas).
🔥 Ini diperparah karena masing-masing pihak sudah melakukan taàṣub (fanatisme afiliasi), akibat aṣobiyyah yang sudah merasuk ke dalam hati. Akibatnya jadi pertentangan antara kelompok (PENDAKU) Salafiyy dengan simpatisan dan anggota OrMas Muhammadiyyah.
⚠️ Padahal, kalau didudukkan idealnya maka kritik itu HARUS ADA.
📌 Iya "harus ada", sebab Baginda Nabī ﷺ bersabda:
كُلُّ بَنِي آدَمَ خَطَّاءٌ
(arti) _“Setiap anak cucu Ādam itu adalah tukang berbuat kesalahan.”_
Artinya: each and every one of us has been making mistakes, and will keep on making mistakes. Hanya kadarnya saja yang berbeda-beda.
‼️ Tak ada lagi pribadi yang terjaga, sebab kema`ṣūman sudah tak ada lagi semenjak perginya rūh suci dari Nabī yang suci, Baginda Muḥammad ﷺ, pada hari Senin tanggal 12 Robīùl-Awwal tahun 11 H, 1435 tahun lalu.
✅ Sekarang masalahnya adalah dari pengkritik, maka lakukan lah dengan ìlmiyyah kritikannya tersebut. Jangan ad hominem, apalagi mendakwa perkara niyāt yang letaknya ada di dalam hati sanubari. Kemudian lakukan kritik itu dengan adab yang baik.
✅ Sedangkan dari sisi yang dikritik, maka apabila kritikannya itu ìlmiyyah, maka jawablah dengan jujur dan ìlmiyyah pula. Jangan ad hominem apalagi meremehkan. Jangan pula mencari-cari pembenaran.
❤️ Adapun kalau memang salah, maka gentle lah mengakui kesalahan. Rujū` dan minta maaf kalau dirasa perlu.
📌 Bukankah Baginda Nabī ﷺ menasihati ummatnya:
وَخَيْرُ ٱلْخَطَّائِينَ ٱلتَّوَّابُونَ
(arti) _“Dan sebaik-baiknya dari para tukang berbuat kesalahan itu adalah yang mau (untuk terus) bertaubat.”_
➡️ Jadi jangan pernah malu untuk rujū` dan meminta maaf, karena justru itu malah menunjukkan kebesaran jiwa.
☠️ Adapun menolak rujū` apalagi menolak kritik sama sekali, maka itu adalah KESOMBONGAN.
📌 Kata Baginda Nabī ﷺ:
ٱلْكِبْرُ بَطَرُ ٱلْحَقِّ وَغَمْطُ ٱلنَّاسِ
(arti) _“Kesombongan adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain.“_
Ḥadīṫ mulia ini juga berlaku kepada pengkritik, ketika tidak mau menerima kebenaran dari yang lawan karena taàṣub kepada kelompoknya, dan tentunya kepada yang dikritik ketika tak mau menerima kritik karena berasal dari kelompok lain.
❗ Adapun kalau adab dari para pengkritik buruk, tapi kritikannya benar, maka keburukan itu kembali kepada diri mereka sendiri. Mereka akan kehilangan kredibilitasnya sendiri di ke depan harinya.
‼️ Ingatlah bahwa baik pengkritik maupun yang dikritik adalah bagian dari kaum Muslimīn Aḥlus-Sunnah wal-Jamāàh, sehingga wajib mengikuti perintah Allōh ﷻ.
📌 Kata Allōh ﷻ di dalam firman-Nya:
مُحَمَّدٌ رَسُولُ ٱللّٰـهِ وَٱلَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى ٱلْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ
(arti) _“Muḥammad itu adalah rosūl-Nya Allōh, sedangkan orang-orang yang membersamainya bersikap sangat keras terhadap orang-orang yang kāfir, namun berkasih-sayang terhadap sesama mereka.”_
Demikian, semoga bermanfaat.
Komentar
Posting Komentar