Zakāt Māl (Uang Simpanan) Dihitung Dengan Nishob Dirham?
Sebagian da‘i kontemporer menilai bahwa Zakāt Māl di zaman sekarang ini hendaknya nishobnya dinilai dengan standar Dirham (perak) sehingga lebih banyak orang yang terkena kewajiban berzakāt.
Dahulu, Baginda Nabī ﷺ menetapkan bahwa nishob Zakāt Māl itu adalah 20 Dīnār (Emas), atau kalau dalam Dirham (Perak) maka ia adalah 200 Dirham.
📌 Kata Baginda Nabī ﷺ:
فَإِذَا كَانَتْ لَكَ مِائَتَا دِرْهَمٍ وَحَالَ عَلَيْهَا الْحَوْلُ فَفِيهَا خَمْسَةُ دَرَاهِمَ وَلَيْسَ عَلَيْكَ شَىْءٌ – يَعْنِى فِى الذَّهَبِ – حَتَّى يَكُونَ لَكَ عِشْرُونَ دِينَارًا فَإِذَا كَانَ لَكَ عِشْرُونَ دِينَارًا وَحَالَ عَلَيْهَا الْحَوْلُ فَفِيهَا نِصْفُ دِينَارٍ فَمَا زَادَ فَبِحِسَابِ ذَلِكَ
(arti) _“Jika kamu memiliki 200 Dirham dan telah berlalu satu tahun (sejak memilikinya), maka padanya kamu dikenai zakāt sebesar 5 dirham. Dan kamu tidak berkewajiban membayar zakāt sedikit pun (maksudnya Dinar -pent) hingga kamu memiliki 20 Dīnār. Jika kamu telah memiliki 20 Dīnār, dan telah berlalu satu tahun (sejak memilikinya), maka padanya kamu dikenai zakāt ½ Dīnār. Dan setiap kelebihan dari (nishob) itu, maka zakatnya disesuaikan dengan hitungan itu.”_ [HR Abū Dāwūd no 1572-3].
Pada di Zaman Nabī itu, kurs 1 Dirham itu adalah 1/10 Dinar (10 Dirham = 1 Dīnār). Namun pada zaman Kholīfah ‘Umar رضي الله تعالى عنه, Dirham itu sudah terinflasi sehingga kursnya menjadi 12 : 1 terhadap Dīnār.
Adapun sekarang, kalau kita lihat, maka 1 Dīnār nilainya sekira Rp 3,583juta sedangkan Dirham nilainya sekira Rp 65ribu. Perbandingannya sudah makin besar, kursnya menjadi 55 : 1.
Jadi kalau dihitung Rupiahnya, maka nishob Zakāt Māl itu akan berbeda jauh antara Dīnār (Rp 71,658juta) dengan Dirham (Rp 13,068juta).
Itu tentu menjadi membingung antara mana yang mau dipakai?
Sebagian ‘ulamā’ mengatakan bahwa hendaknya dipakai nishob nilai Dirham, sehingga harta simpanan senilai Rp 13,068juta sudah kena kewajiban zakāt. Maksudnya agar kaum Muzakki jadi lebih banyak basisnya, dibandingkan jika yang dipakai adalah nishob Dīnār yang Rp 71,658juta.
❓ Pertanyaanya, tepatkah demikian?
Untuk menjawabnya, maka saya mencoba menelaah dari bidang Sejarah Uang (History of Currency) supaya fair.
Pada zaman Nabī ﷺ dan para Salafush-Shōlih, uang masih berbentuk Commodity Money (benda berharga seperti emas dan perak) yang dikenal dengan nama Dīnār & Dirham. Jadi tiada masalah saat harus berzakāt, jika mereka punya Dīnār ya keluarkan Dīnār, sedangkan jika punyanya Dirham ya keluarkan Dirham.
Namun sekarang, uang yang kita gunakan adalah "Uang Fiat" alias fulus yang tak ada kaitannya sama sekali dengan precious metal, sebab saat ini yang namanya uang itu sudah tak lagi "directly backed by precious metal".
Namun jika ditelaah sejarahnya, Uang Fiat pada awalnya adalah fully backed-up dengan emas (gold backed currency). Baca saja sejarah tentang Bretton Woods Agreement. Namun seiring dengan perjalanan waktu, satu per satu negara di Dunia melepas system gold backed currency, sedangkan Amrik adalah negara terakhir yang melepas system gold backed currency tersebut.
Nah hal ini kunci pembahasan kita, yaitu emas itu pernah menjadi dasar dari nilai Uang Fiat. Itu pun masih "berbekas" karena bahkan sampai saat ini, berbagai Bank Sentral di Dunia (termasuk di negeri kita) masih menyimpan emas sebagai back-up yang disebut dengan istilah "Monetary Gold" (walau secara resmi uang tak bisa dipertukarkan langsung dengan emas simpanan tersebut).
Jadi…
Basis Uang Kertas yang kita pakai itu adalah emas, BUKAN perak. Sehingga menghitung nishob, secara ‘ilmu Ekonomi, adalah lebih tepat dengan setara nilainya dengan emas (Dīnār).
Adapun dari segi ‘ilmu Fiqih, dengan menggunaan metode "asybah wan nazho‘ir" menjadi penguat bahwa nishob emas dalam ini lebih tepat digunakan untuk nishob Uang Fiat.
Asybah yaitu dilihat kasus lain selain zakāt yang juga menggunakan standar Dīnār dan Dirham dalam penghitungannya lalu dicocokkan mana yang dipakai oleh para fuqohā’, baik yang disepakati atau tak disepakati akan tetapi punya dukungan kuat dari nash, atau qiyās awla.
Nazho‘ir yaitu mencari kasus pembanding, pernahkah Baginda Nabī ﷺ menetapkan salah satu dari Dīnār atau Dirham sebagai standar satu kasus selain zakāt?
Dengan metode asybah, ditemukan dalam kasus diyat pembunuhan jiwa, yang mana asalnya adalah 100 ekor unta termahal. Terdapat riwayat-riwayat yang shohīh tentang Kholīfah ‘Umar ibn al-Khoththōb رضي الله تعالى عنه menetapkan nilai diyat yang sebanding dengan 100 ekor unta yang kala itu adalah 1.000 Dīnār atau 12.000 Dirham (artinya di zaman ‘Umar kurs Dirham sudah terinflasi terhadap Dīnār menjari 12 : 1) [Atsar Riwayat Abū Dāwūd dalam Sunannya dari ‘Amr ibn Syu‘aib dari ayahnya dari kakeknya].
Jika dilihat dengan harga aktual masa kini, harga Dīnār itu sekira Rp 3,583juta, maka harga onta sekitar di mana SAR 9.000 ~ 10.000 (sekira Rp 34,5juta ~ 38,2juta), sapi sekitar Rp 18juta, dan kambing sekitar Rp 2juta, maka diyat akan setara dengan Rp 3,5milyar ~ 4milyar. Namun nilai itu akan jauh beda dengan nilai 12.000 Dirham pada masa kini yang hanya sekira ribu dirham di mana kalau satu dirham harga sekarang adalah Rp 65ribu, berarti hanya sekira Rp 780juta saja. Ketentuan diyat mengikuti asal yang ada dalam nash berarti 100 ekor unta, yang mana itu masih setara dengan 1.000 Dīnār emas kala itu dan juga dinilai dengan harga Dīnār sekarang.
Kasus lain adalah ghurroh pada janin sebagaimana riwayat Ibnu Abī Syaibah di dalam Mushonnaf-nya di mana pernah ditetapkan oleh ‘Umar senilai 50 Dīnār ayau 500 Dirham, yang mana kurs 1 Dīnār adalah 10 ~ 12 Dirham. Jika nilai ghurroh adalah 1/20 diyat atau 5 ekor unta mahal (yang kalau harganya Rp 35,5juta ~ 38,2juta) juta maka didapatkan nilai sekira Rp 180juta ~ 200juta, dan sekitar itu pulah nilai 50 Dīnār saat ini. Akan tetapi 500 Dirham itu kini nilainya hanya sekitar Rp 37,5juta saja, yang mana itu sudah jauh di bawahnya. Sementara ghurroh mengikuti standar hitungan diyat.
Berikutnya, jika dicari nazhir (pembanding) yaitu Baginda Nabī ﷺ pernah menetapkan standar emas sebagai nishab di kasus pencurian, di mana berdasarkan riwayat yang disepakati keshohīhannya oleh Imām al-Bukhōrī dan Imām Muslim dari Ummul-Mu’minīn ‘Ā-isyah رضي الله تعالى عنها, bahwa Baginda Nabī ﷺ menetapkan tak ada hukuman potong tangan bagi pencuri kecuali kalau nilainya setara (atau lebih) dari ¼ Dīnār.
📌 Kata Baginda Nabī ﷺ:
لاَ تُقْطَعُ يَدُ السَّارِقِ إِلاَّ فِي رُبْعِ دِيْنَارٍ فَصَاعِدًا
(arti) _“Pencuri tidak dipotong tangannya kecuali barang yang dicuri senilai ¼ Dīnār atau lebih.”_ [HR al-Bukhōrī no 6789-91; Muslim no 1684; Abū Dāwūd no 4384; an-Nasā-ī no 4914, 4916-32-3, 4935-6; Ibnu Mājah no 2585; Ahmad no 22949-50, 22141, 24921, 24945; Mālik no 1601-2; ad-Dārimī no 2346].
Dapat disimpulkan bahwa Dīnār adalah nash dari Baginda Nabī ﷺ, di mana Beliau ﷺ menjadikan standar nishob itu adalah ¼ Dīnār atau sekitar 1,06 Gram (sekira Rp 900ribu jika dihitung dengan nilai Rupiah sekarang). Sementara kalau pakai standar Dirham (yang di masa Baginda Nabī ﷺ kursnya adalah 10 : 1 dengan Dīnār) berarti 2,5 Dirham dan itu sekarang hanya sekira Rp 162,5ribu saja.
Memang ada beberapa riwayat yang memakai 10 Dirham, akan tetapi riwayat tersebut dho‘if, dan yang shohīh hanya riwayat 3 Dirham, dan itu pada masa itu sudah melampaui ¼ Dīnār. Makanya para ‘ulamā’ madz-hab beda pendapat tentang nishob potong tangan pencuri. Adapun yang shohīh adalah riwayat dari ‘Ā-isyah di atas, dan ini jadi pendapat madz-hab asy-Syāfi‘ī.
Jika dilihat sekarang, Rp 162,5ribu itu belumlah menjadi "mahal" untuk memotong tangan pencuri, karena mencuri jumlah segitu hanyalah orang yang benar-benar butuh, atau tingkat yang masih dianggap rendah oleh masyarakat. Akan tetapi kalau Rp 1juta, maka itu sudah dianggap tinggi.
Intinya adalah bahwa sebaiknya memakai patokan Dīnār (emas) karena harganya lebih stabil dan sesuai dengan beberapa barang pembanding lain yang juga diwajibkan zakāt yang sama-sama memakai haul. Sementara kalau memakai standar Dirham, maka sungguh nilainya saat ini sudah sangat jauh sekali dengan asybah atau kasus mirip barang lain yang sama-sama kena kewajiban zakāt, ataupun diyat, ataupun ghurroh.
Dengan menggunakan metode asybah wan nazho‘ir maka memakai standar Dīnār untuk nishob Zakāt Māl (dalam bentuk uang) adalah lebih lebih logis (aqyas).
Nazho‘ir lain adalah bahwa biasanya dalam pewajiban terhadap harta maka agama ini lebih menimbang kemaslahatan mukallaf daripada penerima manfaat. Di sini mukallaf adalah "muzakki" (pezakāt), sedangkan penerima manfaat adalah "mustahiq". Kalau standarnya rendah maka akan lebih bermanfaat buat mustahiq, sedangkan kalau standarnya tinggi lebih manfaat buat muzakki. Biasanya Syari‘at menerapkan "kewajiban" lebih mempertimbangkan kemaslahatan mukallaf, sedangkan kemaslahatan mustahiq biasanya disyari‘atkan dalam bentuk yang "sunnah", bukan kewajiban. Sunnah itu adalah untuk mengukur tingkat kedermawanan dan kepelitan seseorang.
Demikian, wallōhu a‘lam.
Komentar
Posting Komentar