Siapa Ulîl Amri?
Salah satu perkara yang dianggap sebagai perkara penting menilai kemanhajtan seseorang oleh GPK Kokohiyyun adalah tentang apakah meng-ulîl amri-kan penguasa atau tidak, di mana menurut GPK Kokohiyyun itu siapapun yang berkuasa, baik muslim atau bahkan kâfir sekalipun, berhukum dengan hukum الله ataupun sekuler, maka akan di-ulîl amri-kan secara syar‘i oleh mereka.
❓ Pertanyaannya: apakah benar pemahaman yang seperti itu?
Jawabannya ada pada ayat suci tentang perintah الله Subhânahu wa Ta‘âlâ untuk menta'ati ulîl amri tersebut…
📌 Kata الله Subhânahu wa Ta‘âlâ:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
(arti) _“Wahai orang-orang mu’min, ta'atilah Allôh dan ta'atilah Rosûl-(Nya), dan ulîl amri di antara kalian. Kemudian apabila kalian berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allôh (al-Qur-ân) dan Rosûl (as-Sunnah) apabila kamu benar-benar berîmân kepada Allôh dan Hari Âkhirot. Yang demikian itu adalah lebih utama dan lebih baik akibatnya.”_ [QS an-Nisâ’ (4) ayat 59].
❗ Perhatikan faidah penting dari ayat suci tersebut:
1⃣ Siapa yang الله seru pada ayat suci tersebut? → Yaitu adalah "آمَنُوا" – orang-orang yang berîmân. Artinya terminologi ulîl amri hanyalah untuk orang mu’min.
2⃣ Kata "أَطِيعُوا" (ta'atilah) hanya pada الله dan Rosûl-Nya, tetapi tidak pada ulîl amri. Apa maksudnya? → Artinya keta'atan kepada الله dan Rosûl-Nya itu muthlaq, sedangkan keta'atan kepada ulîl amri itu bersyarat (tidak muthlaq), yaitu tidak boleh dalam hal kemaksiyatan terhadap Allôh dan Rosûl-Nya.
📌 Kata Baginda Nabî صلى الله عليه و سلم:
السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ ، فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ، مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ ، فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ
(arti) _“Seorang muslim wajib ta'at dan mendengar (kepada penguasa kaum muslimin) dalam hal yang disukai maupun hal yang tidak disukai (dibenci) selama perintah tersebut bukan dalam kemaksiyatan (terhadap Allôh). Namun jika ia diperintahkan dalam hal maksiyat, maka tidak boleh menerima perintah tersebut dan tidak boleh ta'at.”_ [HR al-Bukhôrî no 7144 dan Muslim no 1839; Abû Dâwud no 2626; at-Tirmidzî no 1707; an-Nasâ-î no 4206; Ahmad no 5996].
3⃣ Siapa yang boleh jadi "ulîl amri"? → Yaitu "مِنكُمْ" – dari kalian, di mana jelas maksud dari "kalian" itu adalah kalangan orang mu’min, karena yang diseru oleh الله pada ayat tersebut adalah orang berîmân.
Jadi tidak ada ceritanya (tidak mungkin bisa) yang namanya ulîl amri itu orang kuffâr, sebab ia harus dari kalangan orang yang berîmân (mu’min).
⚠ Kemudian, sangat penting juga adalah:
4⃣ Ulîl amri itu harus memimpin dengan Kitâbullôh dan Sunnah.
⇛ Dasarnya adalah perintah pada ayat suci di atas, yaitu: apabila terjadi perbedaan pendapat, maka harus mengembalikannya kepada al-Qur-ân dan as-Sunnah.
Hal ini juga adalah sebagaimana yang perintahkan oleh Baginda Rosûlullôh.
📌 Kata Baginda Nabî صلى الله عليه و سلم:
إِنْ أُمِّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ مُجَدَّعٌ - حَسِبْتُهَا قَالَتْ - أَسْوَدُ يَقُودُكُمْ بِكِتَابِ اللَّهِ تَعَالَى فَاسْمَعُوا لَهُ وَأَطِيعُوا
(arti) _“Apabila seorang budak yang cacat anggota tubuhnya dan sangat hitam kulitnya ditunjuk untuk memerintah kalian dengan Kitâb Allôh Yang Maha Tinggi, maka dengarkan dan ta'atilah ia.”_ [HR Muslim no 1298, 1838; an-Nasâ-î no 4192; Ahmad no 16049, 22147; 26002, 26004, 26008].
Di dalam riwayat lain:
إِنْ أُمِّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ مُجَدَّعٌ فَاسْمَعُوا لَهُ وَأَطِيعُوا مَا قَادَكُمْ بِكِتَابِ اللَّهِ
(arti) _“Sekalipun yang ditunjuk memimpin kalian seorang budak Habasyah yang cacat (dipotong hidung atau telinganya), dengarkan dan ta'atilah selama ia memimpin kalian dengan Kitâbullôh.”_ [HR Ibnu Mâjah no 2861; Ahmad no 16052, 22150, 25999, 26001, 26005, 26007, 26009].
Kata "al-amr" di mana alif-lam-ta’rif pada kata itu menunjukkan sesuatu yang sudah dikenal, yaitu "ad-dîn", makanya ulîl amri itu mencakup dua profesi, yaitu: umarô’ dan ‘ulamâ’. ‘Ulamâ’ karena mereka yang ahli agama atau si-"amr" itu tadi, dan umarô’ kalau ia mengurus kepentingan agama. Akan tetapi kalau ia tidak melaksanakan tugas sebagai pemimpin agama, maka ia hilang dari kata al-amr itu.
Dasarnya adalah firman الله Subhânahu wa Ta‘âlâ pada QS as-Sajadah ayat 24.
📌 Kata الله Subhânahu wa Ta‘âlâ:
وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ
(arti) _“Dan Kami jadikan di antara mereka (para nabî) itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka bersabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami.”_ [QS as-Sajadah (32) ayat 24].
🚫 Jadi jelas undang-undang dasar yang seorang ulîl amri berkhidmat atasnya haruslah Kitâbullôh, bukan kepada undang-undang dasar buatan manusia, apalagi undang-undang dasar tersebut menyelisihi al-Qur-ân dan as-Sunnah.
📍 Kata Imâm Yahyâ ibn Syaraf an-Nawawî رحمه الله:
فَأَمَرَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِطَاعَةِ وَلِيِّ الْأَمْرِ وَلَوْ كَانَ بِهَذِهِ الْخَسَاسَةِ مَا دَامَ يَقُودُنَا بِكِتَابِ اللَّهِ تَعَالَى قَالَ الْعُلَمَاءُ مَعْنَاهُ مَا دَامُوا مُتَمَسِّكِينَ بِالْإِسْلَامِ وَالدُّعَاءِ إِلَى كِتَابِ اللَّهِ تَعَالَى عَلَى أَيِّ حَالٍ كَانُوا فِي أَنْفُسِهِمْ وَأَدْيَانِهِمْ وَأَخْلَاقِهِمْ وَلَا يُشَقُّ عَلَيْهِمُ الْعَصَا بَلْ إِذَا ظَهَرَتْ مِنْهُمُ الْمُنْكَرَاتُ وُعِظُوا وَذُكِّرُوا
(arti) "(Rosûlullôh) ﷺ memerintahkan untuk ta'at kepada walîyul-amri meskipun dengan kondisi tubuh sejelek itu (dibuat cacat hidung dan telinganya) selama ia menuntun kita dengan Kitâb Allôh Ta‘âlâ. Para ‘ulamâ’ mengatakan bahwa maknanya adalah selama mereka berpedoman pada Islâm dan menyeru kepada Kitâb Allôh Ta‘âlâ. Terlepas bagaimana pun keadaan diri (fisik) mereka, dan sikap beragama, dan akhlâq mereka. Tidak boleh memisahkan diri dari mereka. Kalau tampak kemungkaran pada diri mereka, maka hendaklah mereka dinasihati dan diingatkan." [lihat: Syarh Shohîh Muslim IX/47].
📍 Kata Imâm Muhammad ibn ‘Alî asy-Syaukânî رحمه الله:
وأولي الأمر هم : الأئمة ، والسلاطين ، والقضاة ، وكل من كانت له ولاية شرعية لا ولاية طاغوتية
(arti) "Ulîl amri adalah para imâm, penguasa, hakim, dan semua orang yang memiliki kekuasaan yang syar‘i, bukan kekuasaan thôghûtiyah." [lihat: Fat-hul-Qodîr I/556].
Para ‘ulamâ’ menyimpulkan bahwa:
⑴. Yang namanya ulîl amri secara syar‘i hanyalah dari kalangan orang-orang yang berîmân (mu’min) saja.
⑵. Keta'atan kepada ulîl amri tidaklah muthlaq, namun bersyarat, yaitu selama bukan dalam perkara maksiyat kepada الله dan Rosûl-Nya.
⑶. Ulîl amri wajib menjadikan Syari‘at Islâm sebagai undang-undang dasar di dalam pemerintahannya.
Jika ketiga syarat itu tidak dipenuhi, maka penguasa bukanlah ulîl amri secara syar‘i, tetapi cukup disebut sebagai "penguasa" saja.
❓ Lalu apakah apabila tidak mengulîl-amrikan berkonsekwensi memberontak?
Jelas tidak…!
☠ Itu tuduhan konyol yang berasal dari waham ngustad-ngustad GPK Kokohiyyun itu saja.
⇨ Tidak ada hubungan antara tidak ta'at dengan keharusan memberontak.
Keta'atan kepada ulîl amri itu adalah bagian dari keta'atan kepada الله dan Rosûl-Nya, sehingga kalau penguasa itu membuat keputusan maka wajib dita'ati, baik dalam keadaan suka maupun tidak suka. Kecuali itu adalah maksiyat kepada الله dan Rosûl-Nya, maka tidak wajib ta'at.
❗ Dasarnya adalah perintah Baginda Nabî صلى الله عليه و سلم untuk menta'ati aturan selama aturan itu tidak melanggar syari‘at.
📌 Kata Baginda Nabî صلى الله عليه و سلم:
الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ – زَادَ أَحْمَدُ : إِلاَّ صُلْحًا أَحَلَّ حَرَامًا أَوْ حَرَّمَ حَلاَلاً – وَزَادَ سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ : الْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ
(arti) _“Perdamaian itu diperbolehkan di antara kaum Muslimîn.”_ – Ahmad menambahkan: _“Kecuali perdamaian yang mensyaratkan penghalâlan yang harôm dan pengharôman yang halâl.”_ – Sulaymân ibn Dâwud menambahkan: _“Muslimîn itu ta'at kepada persyaratan.”_ [HR Abû Dâwud no 3594].
Atau dalam riwayat yang lain:
الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إِلاَّ صُلْحًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا وَالْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا
(arti) _“Perdamaian itu diperbolehkan di antara kaum Muslimîn kecuali perdamaian yang menghalâlkan yang harôm atau mengharômkan yang halâl, dan kaum Muslimîn boleh menentukan syarat kecuali syarat yang mengharômkan yang halâl atau menghalâlkan yang harôm.”_ [HR at-Tirmidzî no 1352].
Atau dalam riwayat lain:
الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إِلاَّ صُلْحًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا
(arti) _“Perdamaian di antara kaum Muslimîn itu diperbolehkan kecuali perdamaian untuk mengharômkan yang halâl atau menghalâlkan yang harôm.”_ [HR Ibnu Mâjah no 2353].
Adapun jika penguasa membuat keputusan / hukum yang menyelisihi syari‘at, bahkan maksiyat, maka tidak wajib untuk dita'ati – bahkan wajib untuk melakukan amar ma‘rûf nahyi munkar sesuai dengan kemampuan masing-masing.
📌 Kata Baginda Nabî صلى الله عليه و سلم:
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَانِ
(arti) _“Siapa saja di antara kalian yang menyaksikan suatu kemungkaran maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya, jika ia tak mampu maka hendaknya dengan lisannya, dan jika ia tak mampu juga maka dengan (penentangan di dalam) hati sanubarinya, dan itulah selemah-lemahnya îmân.”_ [HR Muslim no 49; Abû Dâwud no 1140, 4340; at-Tirmidzî no 2172; an-Nasâ-î no 5008, 5009; Ibnu Mâjah no 1275, 4013; Ahmad no 10651, 10723, 11034, 11068, 11090, 11442].
⚠️ Keta'atan kepada penguasa sekuler alasannya hanyalah atas dasar kemaslahatan, bukan atas dasar agama.
Demikian, semoga dapat dipahami.
نَسْأَلُ اللهَ الْسَلَامَةَ وَالْعَافِيَةَ
Komentar
Posting Komentar