Cukup Lihat Dalīl Saja?
"𝑇ℎ𝑒 𝑡𝑒𝑥𝑡 𝑜𝑓 𝑜𝑛𝑒 𝑜𝑟 𝑎 𝑓𝑒𝑤 ℎ𝑎𝑑𝑖𝑡ℎ 𝑎𝑙𝑜𝑛𝑒 𝑎𝑟𝑒 𝑛𝑜𝑡 𝑡𝑎𝑘𝑒𝑛 𝑎𝑠 𝑟𝑢𝑙𝑖𝑛𝑔𝑠 𝑏𝑦 𝑡ℎ𝑒𝑚𝑠𝑒𝑙𝑣𝑒𝑠; 𝑠𝑐ℎ𝑜𝑙𝑎𝑟𝑠 ℎ𝑎𝑣𝑒 𝑠𝑜𝑝ℎ𝑖𝑠𝑡𝑖𝑐𝑎𝑡𝑒𝑑 𝑝𝑟𝑜𝑐𝑒𝑠𝑠 𝑢𝑠𝑖𝑛𝑔 𝑡ℎ𝑒 𝑝𝑟𝑖𝑛𝑐𝑖𝑝𝑙𝑒𝑠 𝑜𝑓 𝑓𝑖𝑞ℎ 𝑡𝑜 𝑐𝑜𝑚𝑒 𝑢𝑝 𝑤𝑖𝑡ℎ 𝑟𝑢𝑙𝑖𝑛𝑔𝑠. 𝑊𝑒 𝑑𝑜 𝑛𝑜𝑡 𝑎𝑑𝑣𝑜𝑐𝑎𝑡𝑒 𝑑𝑜-𝑖𝑡-𝑦𝑜𝑢𝑟𝑠𝑒𝑙𝑓 𝑓𝑖𝑞ℎ 𝑢𝑠𝑖𝑛𝑔 𝑡ℎ𝑒𝑠𝑒 ℎ𝑎𝑑𝑖𝑡ℎ 𝑓𝑜𝑟 𝑡ℎ𝑜𝑠𝑒 𝑤ℎ𝑜 𝑎𝑟𝑒 𝑢𝑛𝑡𝑟𝑎𝑖𝑛𝑒𝑑 𝑖𝑛 𝑡ℎ𝑒𝑠𝑒 𝑝𝑟𝑖𝑛𝑐𝑖𝑝𝑙𝑒𝑠." – note from the publisher of Hadith app
Terus terang saya sebenarnya tak kaget lagi dengan di quotes pada so-called poster da‘wah terlampir ini, sebab memang begitulah keyakinan yang dianut oleh orang-orang yang kemana-mana berbusa-busa mulutnya mengaku-ngaku dirinya sebagai "Salafiyy" yang "bermanhaj Salaf" menggadang-gadang jargon "memurnikan Tauḥīd, menebarkan cahaya Sunnah".
❓ Seperti biasa, kita menanyakan: "benarkah pendapat yang demikian?"
☠ Adalah benar di dalam beragama wajib berdasarkan dalīl, AKAN TETAPI perkataan di atas itu sangatlah merusak terkhususnya bagi orang awam…!!!
❓ Merusak bagaimana?
⚠ Karena mayoritas ḥukum yang berkaitan dengan sosial-kemasyarakatan itu adalah dinamis ṣifatnya, di mana ia adalah butuh ùlamā’ fuqohā’ untuk mencari, menafsirkan, lalu menarik kesimpulan hukum atas ḥadīṫ-ḥadīṫ yang berkenaan dengannya.
❌ Jadi TAK BISA serta-merta mengatakan bahwa beragama cukup pakai dalīl secara letterlijk, tak perlu melihat fatwa ùlamā’, apalagi langsung menghukumi siapa yang mengikut pendapat ùlamā’ dan langsung pula mendakwa orang yang mengikut pendapat ùlamā’ sebagai ingkar terhadap Sunnah Nabī ﷺ.
Tak bisa begitu, eh Pulgoso…!
Perhatikan sebuah kisah berikut ini:
…
Pada masa kehidupan Baginda Nabī ﷺ beberapa kali terjadi onta terlepas dari pemiliknya. Saat ditanya bagaimana menyikapinya, wajah Baginda Nabī ﷺ merona merah (akibat marah –pent) dan Beliau ﷺ melarang siapapun juga juga untuk menangkap onta yang terlepas itu.
📌 Kata Baginda Nabī ﷺ:
مَالَكَ وَلَهَا مَعَهَا سِقَاؤُهَا وَحِذَاؤُهَا ، تَرِدُ الْمَاءَ وَتَأْكُلُ الشَّجَرَ ، حَتَّى يَلْقَاهَا رَبُّهَا
(arti) _“Kenapa kalian mengurusinya? Ia (onta) memiliki persediaan air sendiri (punuk –pent) dan selalu memakai sepatunya, serta ia mampu untuk berjalan sendiri ke tempat mata air serta mamakan dedaunan sampai pemiliknya menemukannya.”_ [HR al-Buḳōriyy no 2372, 2427-*9, 2436-*9, 6112; Muslim 1704-*6, 1722; Abū Dāwūd no 1704-*5; Aḥmad no 16431, 20697; Mālik no 1509].
Ketetapan itu terus berlangsung selama masa pemerintahan Ḳolīfah Abū Bakr aṣ- Ṣiddīq dan Ḳolīfah Ùmar ibn al-Ḳoṭṭōb رضي الله تعالى عنهما, dan kaum Muslimīn patuh pada ḥadīṫ Baginda Nabī ﷺ. Onta yang terlepas dari pemiliknya dibiarkan berkeliaran tanpa ada seseorang pun yang menangkapnya sampai ia ditemukan oleh pemiliknya.
Akan tetapi pada masa Ḳolīfah Ùṫmān ibn Àffān رضي الله تعالى عنه, Beliau malah memerintahkan agar onta yang terlepas tersebut ditangkap, lalu diumumkan kepada publik agar dapat diketahui siapa pemiliknya, kemudian setelah beberapa lama tak ada yang mengklaim maka onta itu dijual. Apabila ternyata pemiliknya datang, maka uang hasil penjualannya diberikan kepada si pemilik.
Adapun pada masa Ḳolīfah Àlī ibn Abī Ṭōlib رضي الله تعالى عنه, maka Beliau memodifikasi ketetapan Ḳolīfah Ùṫmān dengan tak menjual onta tersebut karena kemungkinan menimbulkan kerugian bagi pemiliknya (sebab bisa terjadi harga penjualan tak sesuai dengan harga yang sebenarnya). Ḳolīfah Àlī memutuskan bahwa onta yang terlepas itu ditangkap, lalu dipelihara atas biaya Negara (Baitul-Māl) sampai si pemilik mengambilnya.
…
❓ Pertanyaan: "apakah berani mendakwa Ḳolīfah Uṫmān dan Àlī itu ingkar terhadap Sunnah Nabī"…???
☠ Kalau sampai berani mendakwa demikian, maka saya khawatir yang mendakwa itu demikian telah murtad & kāfir…!!!
❓ Kenapa kedua Ḳolīfah tersebut, Ùṭmān dan Àlī -رضي الله تعالى عنهما, "berani" menyelisihi perintah Baginda Nabī ﷺ?
⇛ Sebab apa yang dilakukan oleh Beliau -رضي الله تعالى عنهما itu TAK menyelisihi maqōṣid (tujuan) dari ḥadīṫ Nabī ﷺ tersebut. Justru kedua Ḳolīfah itu melihat kepada tujuan dari ḥadīṫ mulia tersebut, yaitu: "ḥifzhul-māl" (penjagaan terhadap harta manusia).
‼️ Kedua orang al-Ḳilāfatur-Rōṡidah itu menetapkan hukum demikian karena Beliau berdua menimbang keadaan telah berubah dibanding pada masa Nabī ﷺ, Abū Bakr, dan Ùmar. Dulu rakyatnya adalah kelasnya para Ṣoḥābat رضي الله تعالى عنهم, yaitu orang-orang yang punya rasa takut yang sangat besar kepada Allōh ﷻ. Namun pada zaman Ùmar, Islām berkembang begitu cepat dengan penaklukkan wilayah Persia dan Byzantium di Ṡām dan Mesir sehingga banyak manusia yang masuk Islām. Akibatnya keadaan masyarakat pun ikut berubah dikarenakan orang-orang yang tukang ma‘ṣiyah dan bermoral rendah jadi semakin banyak, sehingga sebagian orang berani melakukan tindakan harōm mengambil onta yang terlepas tersebut. Dalam situasi demikian, membiarkan onta yang terlepas sama saja dengan menyia-nyiakan harta dan merugikan si pemiliknya, yang mana tentunya bertentangan dengan apa yang dikehendaki oleh Baginda Nabī ﷺ pada saat Beliau melarang penangkapan onta terlepas itu.
⚠ Para fuqohā’ sepanjang zaman telah secara terus menerus mengingatkan kepada kita bahwa ada persyaratan yang sangat ketat dalam menarik pendapat hukum dari suatu ḥadīṫ. TAK BISA bisa ujug-ujug orang yang tak bisa Ìlmu Alat, tak paham balaġoh, tak pernah belajar fiqh & uṣul fiqh, lalu mengambil ḥadīṫ secara letterlijk kemudian mengatakan hukumnya begini dan begitu tanpa merujuk pada perkataan para ùlamā’ fuqohā’. Apalagi lancang menuduh orang yang menyelisihi pendapatnya itu sebagai "tidak nyunnah" thus "manhajnya bermasalah".
‼️ Point pentingnya adalah:
⑴. TAK SETIAP ḥadīṫ itu bisa langsung diàmalkan begitu saja tanpa bimbingan dari para ùlamā’ – tak semudah itu karena aktualnya juga tak begitu yang dipraktekkan oleh para ùlamā’ fuqohā’ sepanjang masa, eh Pulgoso!
📍 Kata Imām Àbdullōh ibn Wahb رحمه الله تعالى:
ﻭﻟﻮﻻ ﻣﺎﻟﻚ ﺑﻦ ﺃﻧﺲ ﻭاﻟﻠﻴﺚ ﺑﻦ ﺳﻌﺪ ﻟﻬﻠﻜﺖ ، ﻛﻨﺖ ﺃﻇﻦ ﺃﻥ ﻛﻞ ﻣﺎ ﺟﺎء ﻋﻦ اﻟﻨﺒﻲ ﷺ ﻳﻔﻌﻞ ﺑﻪ
(arti) _“Kalaulah saja saya tak bertemu dengan (imām) Mālik ibn Anas dan (imām) al-Laits ibn Saàd, maka celakalah saya! Dulunya saya mengira bahwa segala sesuatu yang datangnya dari Nabi ﷺ itu pasti bisa diàmalkan secara letterlijk.”_ [lihat: Ibnu Asakir, Muḳtaṣor Tārikh ad-Dimasyq XXI/250].
📍 Imām Aḥmad ibn Muḥammad ibn Ḥajar al-Haitamiyy al-Makkiyy رحمه الله تعالى di dalam al-Fatāwa al-Ḥadiṫiyyah saat ditanya tentang pernyataan "ḥadīṫ itu menyesatkan kecuali bagi para ahli fiqh", maka Beliau menjawab:
أن الحديث كالقرآن في أنه قد يكون عام اللفظ خاص المعنى وعكسه ومنه ناسخ ومنسوخ ومنه ما لم يصحبه عمل ومنه مشكل يقتضي ظاهره التشبيه كحديث ينزل ربنا الخ ولا يعرف معنى هذه إلا الفقهاء بخلاف من لا يعرف إلا مجرد الحديث فإنه يضل فيه كما وقع لبعض متقدمي الحديث بل ومتأخريهم
(arti) _“Ḥadīṫ -seperti halnya dengan al-Qur-ān- terkadang menggunakan redaksi kalimat yang umum akan tetapi maknanya khusus, atau juga sebaliknya, ada juga ḥadīṫ yang nāsiḳ (yang menghapus) dan mansūḳ (yang dihapus), ada pula suatu ḥadīṫ yang belum sempat diàmalkan, ada juga yang secara ẓohir lafaẓnya bermasalah karena maknanya menyerupakan Allōh dengan maḳluq seperti ḥadīṫ "Robb kita turun dari langit", dengan demikian maka hanya para fuqohā’ yang dapat memahami apa maksud darinya, bukan orang yang hanya hafal ḥadīṫ saja, karena yang demikian rawan tersesat seperti yang terjadi pada para penghafal ḥadīṫ di zaman dulu bahkan juga di zaman sekarang ini.”_
‼️ Perhatikan kedua orang yang perkataannya dinukil di atas itu, BUKAN yang oknum "jiping" 1x atau 2x sepekan itupun pengajian tematik, akan tetapi mereka adalah para imām fuqohā’ yang sudah hafal al-Qur-ān & al-Ḥadīṫ memenjak dari usia belia, yang menghabiskan usia mereka belajar ìlmu agama.
⁉️ Apabila para imām fuqohā’ itu saja berkata begitu – bahwa TAK BISA menyimpulkan ḥadīṫ secara letterlijk – maka apalagi oknum-oknum ini yang baru setahun-dua tahun hijroh, jiping 1x-2x sepekan kajian tematik, yang jangankan menguasai balaghoh padahal nahwu & shorof-nya saja entahlah (bahkan iqrō’ 1-nya pun dipertanyakan karena membaca al-Qur-ān saja madd-madd & ṣifat serta maḳōrijul-ḥuruf masih salah-salah), dan tak usah buang-buang waktu menanyakan penguasaannya terhadap ìlmu fiqh apalagi uṣul fiqih…
⑵. JANGAN BERANI LANCANG menuduh para ùlamā’ fuqohā’ mengabaikan al-Ḥadīṫ sebab memangnya ketika para ùlamā’ fuqohā’ itu berbicara perkara agama, mereka mendasarkannya pada Primbon gitu?
Keterlaluan anda, wahai Pulgoso…!
Sungguh secara logika hal yang demikian itu sangatlah kurang ajar kepada para ùlamā’ fuqohā’…!
Apakah mungkin al-Aimmah al-Arbaàh – Imām Abū Ḥanīfah, Imām Mālik, Imām aṡ-Ṡāfiìyy, dan Imām Aḥmad رحمهم الله تعالى – itu berbicara tanpa memakai dalīl seakan-akan mażhab mereka muḳolif bagi al-Qur-an & as-Sunnah…???
Apa para ùlamā’ fuqohā’ mażhab itu tak tahu akan peringatan Allōh ﷻ:
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
(arti) _“Dan janganlah kamu mengikuti apa-apa yang kamu tak memiliki pengetahuan tentangnya. Sungguh-sungguh pendengaran, penglihatan, dan hati sanubari, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawabannya.”_ [QS al-Isrō’ (17) ayat 36].
☠ Jangan sampai berani lancang mengira para ùlamā’ fuqohā’ mażhab itu tak tahu terhadap ayat suci di atas. Kalau berani, berarti anda telah berdusta dengan kedustaan yang sangat nyata dengan nekad telah menuduh para ùlamā’ fuqohā’ berkata tentang agama ini tanpa ìlmu, bahkan lancang mendakwa mereka tak takut kepada Allōh ﷻ…!!!
☠️ Adapun kelakuan menyuruh-nyuruh awam Muslimīn untuk langsung merujuk kepada al-Qur-ān & al-Ḥadīṫ, lalu mengabaikan petunjuk ùlamā’ fuqohā’ itu adalah perbuatan BĀṬIL…!
Bahkan menurut Imām Muḥammad Àlī ibn Aḥmad ibn Ḥazm al-Andalusiyy aẓ-Ẓōhiriyy رحمه الله تعالى (seorang ùlamā’ besar dari mażhab Ẓōhiriyyah), yang begitu itu adalah kelakuan dari kaum SESAT Qodariyyah:
وأما التقليد في الفروع : فهو جائز إجماعًا . فكانت الحجة فيه : الإجماع . ولأن المجتهد في الفروع إما مصيب ، وإما مخطئ مثاب غير مأثوم ، بخلاف ما ذكرناه . فلهذا جاز التقليد فيها ، بل وجب على العامّي ذلك .
وذهب بعض القدرية إلى أن العامّة يلزمهم النظر في الدليل في الفروع أيضًا . وهو باطل بإجماع الصحابة ؛ فإنهم كانوا يفتون العامّة ، ولا يأمرونهم بنيل درجة الاجتهاد ، وذلك معلوم على الضرورة والتواتر من علمائهم وعوامّهم . ولأن الإجماع منعقد على تكليف العامّي الأحكام ، وتكليفه رتبة الاجتهاد يؤدي إلى انقطاع الحرث والنسل ، وتعطيل الحرف والصنائع ، فيؤدي إلى خراب الدنيا .
(arti) _“Adapun taqlid dalam masalah furū‘ maka hukumnya jā-iz (boleh) menurut ijmā‘, maka ḥujjah padanya adalah ijmā‘. Oleh karena itu, seorang mujtahid bisa benar atau bisa salah dalam permasalahan furū‘, maka ia pun diberi pahala dan tak diganjar dengan dosa. Berbeda dengan yang telah kami sebutkan. Oleh karena itu, boleh untuk taqlīd dalam masalah furū‘, bahkan hukumnya menjadi wajib bagi orang-orang yang awam di dalam hukum-hukum Islām._
_Sementara beberapa dari kalangan Qodariyyah berpendapat akan wajibnya kalangan awam untuk meneliti dalīl dalam masalah furū‘ pula, dan ini adalah pendapat yang bāṭil menurut ijmā‘ para Ṣoḥābat. Karena sungguh para Ṣoḥābat itu biasa memberikan fatwa kepada kalangan masyarakat awam dan mereka tak pernah memerintahkan kalangan awam untuk mencapai derajat ijtihād. Ini adalah mauqif yang telah dikenali dan telah banyak diketahui dari kalangan ùlamā’ maupun kalangan awam mereka (para Ṣoḥābat). Dan karena ijmā‘ itu menuntut adanya taklīf (pembebanan) kepada kalangan awam terhadap hukum-hukum. Adapun seorang awam jika dibebani untuk mencapai derajat ijtihād, maka hal ini akan menyebabkan kekacauan bahkan dalam urusan pertanian, keturunan, duniawi (harta), produksi (karena awam menjadi sibuk mencari dalīl dan lupa akan urusan-urusan lainnya tersebut di atas), dan ini akan menyebabkan rusaknya stabilitas kehidupan.”_ [lihat: Àbdullōh ibn Aḥmad ibn Qudāmah al-Maqdisiyy, Rouḍotun-Nāẓir wa Jannatul-Manāẓir hal 382-383].
⚠ PERHATIKAN:
⑴. Awam itu TAK PERNAH dituntut untuk mencari-cari dalīl dalam masalah furū‘, ia cukup taqlīd saja kepada para ùlamā’ fuqohā’ yang ḥanif.
⑵. Menyuruh-nyuruh awam untuk mencari-cari dalīl langsung dan mengabaikan petunjuk para ùlamā’ adalah kelakuan dari KAUM SESAT Qodariyyah.
‼️ Oleh karena itu:
⑴. TETAPLAH bersama dengan bimbingan ùlamā’ fuqohā’ – khususnya para ùlamā’ dari generasi Salafuṣ- Ṣōliḥ – dalam ḥanif dalam memahami ḥadīṫ-ḥadīṫ Nabī ﷺ. Ikutilah petunjuk para ùlamā’ yang ḥanif itu dan pelajarilah dengan meminta kepada Allōh ﷻ agar diberikan pemahaman yang benar atasnya.
⑵. TINGGALKAN ngustad-ngustad SESAT yang menyuruh-nyuruh awam melihat langsung kepada dalīl dan meninggalkan petunjuk ùlamā’ fuqohā’.
Demikian, semoga dapat dipahami.
هَدَانَا ٱللهُ وَإِيَّاكُمُ أَجْمَعِينَ
Komentar
Posting Komentar