Penguasa = Cerminan Rakyatnya?
Benarkah Penguasa Itu Muthlaq Cerminan Rakyatnya?
Sebagian orang saat menyikapi
penguasa yang zhôlim, seringkali membawakan perkataan Imâm Ibnu al-Qoyyim
al-Jauziyyah رحمه اللهberikut:
وتأمل حكمته تعالى في ان جعل ملوك العباد
وأمراءهم وولاتهم من جنس اعمالهم بل كأن أعمالهم ظهرت في صور ولاتهم وملوكهم فإن
ساتقاموا استقامت ملوكهم
(arti) “Sungguh di antara
hikmah Allôh Ta‘âlâ dalam keputusan-Nya memilih para raja, pemimpin, dan
pelindung ummat manusia, adalah sama dengan ‘amalan rakyatnya, bahkan perbuatan
rakyat seakan-akan adalah cerminan dari pemimpin dan penguasa mereka.”
[lihat: Miftâh Dâris-Sa‘âdah II/177-178].
Sehingga seakan-akan mengatakan:
"terima saja kezhôliman penguasa itu, toh penguasa yang buruk itu bisa
berkuasa karena pilihan dari rakyat yang buruk juga". Namun, apabila kita
pelajari baik-baik perjalanan sejarah ummat manusia, maka ungkapan bahwa
pemimpin itu adalah cerminan dari rakyatnya adalah suatu qoidah yang tidak 100%
benar, sebab ia dibantah sendiri oleh perjalanan sejarah ummat manusia.
Perhatikanlah fakta-fakta berikut
ini:
- Para Nabiyullôh itu diutus oleh Allôh ﷻsaat keadaan masyarakat kaumnya sedang rusak, dan kemudian merekalah yang memperbaiki keadaan kaumnya tersebut, sebagaimana junjungan kita Baginda Nabî Muhammad ﷺ diutus saat masyarakat ‘Arab di Makkah dalam kondisi Jâhilîyah, di mana Beliau ﷺmentransformasi masyarakat ‘Arab yang Jâhilîyah dan terpinggirkan itu menjadi sebaik-baik ummat manusia dari awal sampai akhir zaman.
- Kholîfah ‘Umar ibn ‘Abdul-‘Azîz رحمه الله memperbaiki keadaan rakyat di negerinya yang pada saat ia mulai menjabat ada dalam keadaan yang buruk.
- Syaikh Muhammad ibn ‘Abdul-Wahhâb رحمه الله bersama dengan Imâm Muhammad ibn Sa‘ûd رحمه اللهyang berjuang memperbaiki masyarakat ‘Arab dari kerusakan Tahayul - Bid‘ah - Khurofat.
- 3 Hajji (Hajji Piobang, Hajji Sumanik, dan Hajji Miskin) sepulang dari Harômain berusaha memperbaiki keadaan masyarakat Minangkabau pada akhir Abad ke-18 yang kemudian melahirkan gerakan Paderi yang fenomenal.
§ Sangat jelas dari fakta-fakta di atas, keadaan yang terjadi
adalah "rakyat merupakan cerminan pemimpinnya", sebab adalah pemimpin
yang memulai usaha untuk merubah keadaan kaum / bangsanya.
Kemudian jika melihat fakta bahwa
Baginda Rosûlullôh ﷺmengirimkan surat kepada
raja-raja di sekitar Jazirah ‘Arab, Beliau ﷺ
mengatakan: "أسلم تسلم" (aslim taslam)
yang artinya: masuklah ke dalam Islâm maka anda akan selamat, sebagaimana yang
tercantum di dalam surat yang dibawa oleh Shohâbat Dihyah al-Kalbî رضي الله عنه kepada Heraklius
(Kaisar Romawi Timur / Byzantium).
📌 Kata Baginda Nabî ﷺ:
يُؤْتِكَ اللَّهُ أَجْرَكَ مَرَّتَيْنِ ،
فَإِنْ تَوَلَّيْتَ فَإِنَّ عَلَيْكَ إِثْمَ الأَرِيسِيِّينَ
(arti) “(Apabila anda masuk
Islâm, maka) Allôh akan memberikan balasan dua kali lipat, sedangkan jika anda
menolak, maka bagi anda dosa rakyat yang mengikuti anda.” [HR al-Bukhôrî no
7; Muslim no 1773].
Dari hadîts mulia tersebut tampak
jelas bahwa penguasa itu merupakan faktor yang sangat krusial yang menentukan
bagaimana keadaan dari kaumnya. Jika penguasanya tak berîmân, suka bermaksiyat,
maka kemungkinan besar rakyatnya juga tak berîmân dan suka bermaksiyat pula.
Sebab rakyat itu tabiatnya adalah mencontoh kelakuan dari para penguasa.
Apabila penguasa suatu kaum itu zhôlim, suka bermaksiyat, suka berdusta, suka
ingkar janji, suka fajir jika berselisih, suka khianat terhadap amanah, maka
rakyatnya pun akan mencontoh kelakuan buruk si penguasa tersebut.
⚠ Maka dari itu, setiap
penguasa pada Hari Qiyâmat akan dimintai pertanggungjawabannya atas keadaan
rakyatnya.
📌 Kata Baginda Nabî ﷺ:
الْإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
(arti) “Imâm adalah pemimpin
yang akan dimintai pertanggungjawabannya atas rakyatnya.” [HR al-Bukhôrî no
893, 2409, 2558, 2751, 5188, 5200, 7138; Muslim no 1829; Abû Dâwûd no 2928;
at-Tirmidzî no 1705; Ahmad no 4920, 5603, 5635, 5753].
Itulah sebabnya mengapa pada
surat Nabî kepada Heraklius dan Qisrô’, maka mereka diancam menanggung dosa
kekufuran rakyatnya jika ia menolak untuk berîmân kepada Baginad Nabî Muhammad ﷺ. Jadi penguasa ditambahkan dosa-dosa
rakyatnya yang kâfir karena rakyatnya itu mengikuti kekâfiran si penguasa.
❓ Lalu bagaimana dengan
hadîts:
كَما تَكونوا يُولَّى عليكُمْ
(arti) “Sebagaimana keadaan
diri kalian, maka seperti itulah kalian akan dipimpin.” [HR ad-Daylamî,
Musnad al-Firdaus, dari Abû Bakroh; al-Baihaqî, dari Abû Ishaq as-Sabi‘î secara
mursal].
Ternyata hadîts tersebut telah
dilemahkan sebagian ‘ulamâ’ ahli hadîts, baik dari kalangan terdahulu seperti:
al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqolânî رحمه الله,
maupun dari kalangan modern seperti Syaikh Muhammad Nâshiruddîn al-Albânî رحمه الله. Syaikh al-Albânî
bahkan menghimpun keseluruhan jalurnya dalam kitâb beliau: as-Silsilah Ahâdîts
adh-Dho‘ifah jilid 1 hal 490-491 no 320, di mana beliau mendho‘ifkannya seraya
menyatakan bahwa fakta di lapangan justru mendustai (bertentangan) dengan
hadîts tersebut. Syaikh al-Albânî di dalam komentar pada paragraf terakhir
uraiannya berkata: "Kemudian makna hadîts yang dimaksud menurut saya, tidaklah
sepenuhnya tepat. Sejarah mengabarkan tentang kepemimpinan pemimpin shôlih
setelah pemimpin yang tidak shôlih, sedangkan rakyat yang dipimpin masih tetap
sama."
📍 Seorang ‘ulamâ’
besar dari kalangan Tâbi‘ût-Tâbi‘în, yaitu: al-Imâm ‘Abdullôh ibn al-Mubarok رحمه الله, di dalam sya‘irnya
menyatakan:
وَهَلْ بَدَّلَ الدِّينَ إِلَّا الْمُلُوكُ
وَأَحْبَارُ سُوءٍ وَرُهْبَانُهَا ؟
(arti) “Siapa lagi yang
mengubah-ubah agama ini kalau bukan para raja, ‘ulamâ’ yang jahat, dan para
ahli ‘ibâdahnya?” [lihat: Syu‘abul-Îmân no 6918].
⚠ Jadi, sama sekali tidak bisa
menafikan bahwa rakyat itu justru adalah cerminan dari pemimpinnya.
Adapun kalau masih bersikeras
juga dengan pendapat bahwa pemimpin adalah cerminan dari rakyatnya, maka
lihatlah fakta sejarah yang relative masih baru berikut ini:
- Puak Melayu di Malaysia itu sama dari sudut pandang orang Inggris dulu dikenal bershifat pemalas, namun oleh Dr Mahathir yang rajin, ditransformasinya Malaysia menjadi negara yang maju. Maka apakah Dr Mahathir itu cerminan rakyatnya?
- Puak Cina di Singapura itu dikenal shifatnya suka berjudi, mabuk-mabukan, suka meludah sembarangan, jorok, kurang teratur, tetapi oleh Lee Kuan Yew diubahnya semua itu, dan hilanglah semua image yang seperti itu. Maka apakah Lee Kuan Yew itu cerminan rakyatnya?
- Orang Rwanda itu dikenal "terbelakang dan buas" di mana di dekade 90an mereka masih miskin, tukang rampok. Kemudian Paul Kagame berkuasa, dan semua kejahatan itu berhenti. Lalu apakah Paul Kagame itu buas dan tukang rampok seperti orang Rwanda dulu?
- Orang Turkiy itu sebelum Recep Tayyip Erdoğan berkuasa, hampir sebagian besar orang tak kenal agama, bahkan sholât saja jarang. Lalu Erdoğan naik, dan kini kita saksikan Masjid-Masjid penuh, ghîroh beragama bangkit. Lalu apa Erdoğan itu adalah cerminan orang Turkiy pada zaman sebelum ia berkuasa?
❓ Masih juga bersikeras?
Coba dipikirkan lagi, apakah
Fir‘aun itu menggambarkan keadaan Nabî Mûsâ عليه
الصلاة و السلام dan kaum Muslimîn dari kalangan Banî Isrô-îl? Atau apakah
Namrud itu adalah cerminan dari Nabî Ibrôhîm عليه
الصلاة و السلام?
❗ Mari berpikir memakai akal
sehat dan nurani yang lurus…!!!
⇨ Yang benar itu adalah:
"pemimpin itu cerminan dari kelompok pendukungnya" – bukan cerminan
dari mayoritas rakyatnya.
📍 Diriwayatkan dari
Ziyâd ibn Hudayr, bahwa ‘Umar ibn al-Khoththôb رضي
الله عنه pernah berkata kepadanya:
هَلْ تَعْرِفُ مَا يَهْدِمُ الإِسْلاَمَ ؟ ؛
قَالَ : قُلْتُ : لاَ ؛ قَالَ : يَهْدِمُهُ زَلَّةُ الْعَالِمِ وَجِدَالُ
الْمُنَافِقِ بِالْكِتَابِ وَحُكْمُ الأَئِمَّةِ الْمُضِلِّينَ
(arti) “"Tahukah kamu apa
yang merubuhkan Islâm?" ; Ziyâd menjawab: "Tidak tahu" ; Lalu
‘Umar berkata: "Yang merubuhkan Islâm adalah: tergelincirnya seorang ‘alim
(‘ulamâ’), perdebatan orang munâfiq dengan menggunakan al-Qur-ân, dan hukum /
keputusan para pemimpin yang menyesatkan."” [Atsar Riwayat ad-Dârimî
no 220; Ibnu al-Mubarok, az-Zuhd no 1475; al-Firyabi, Shifatun Nifaq no 30 ~
dishohîhkan oleh Husain Salim Asad ad-Daronî].
❓ Lalu bagaimana dengan ayat
suci QS al-An‘âm (6) ayat 129?
Coba perhatikan dengan seksama
dan pelajari baik-baik firman Allôh ﷻ
pada ayat suci tersebut:
وَكَذَٰلِكَ
نُوَلِّي بَعْضَ الظَّالِمِينَ بَعْضًا بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
(arti) “Dan demikianlah Kami
jadikan sebahagian orang-orang yang zhôlim itu menjadi walî bagi sebahagian
yang lain disebabkan apa yang mereka kerjakan.” [QS al-An‘âm (6) ayat 129].
⇛ Maka kata kunci pada ayat ini
adalah kata "بَعْضَ" dan "بَعْضًا", yang artinya
adalah "beberapa" atau "sebahagian". Kata kunci itu justru
semakin mempertegas bahwa tidaklah muthlaq rakyat yang suka berbuat buruk akan
diperintah oleh penguasa yang zhôlim, dan begitu juga sebaliknya tidaklah
muthlaq pula penguasa yang zhôlim itu berasal dari rakyat yang buruk.
📌 Kata Baginda Nabî ﷺ di dalam sebuah hadîts mulia:
إِنَّ
اللَّهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ الأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ
يُجَدِّدُ لَهَا دِينَهَا
(arti) “Sungguh Allôh akan
mengutus (menghadirkan) bagi ummat ini (Ummat Islâm) orang yang akan
memperbaharui (urusan) agama mereka pada setiap akhir 100 tahun.” [HR Abû
Dâwûd no 4291; al-Hâkim no 8592; ath-Thobaroni, al-Mu‘jam al-Ausath no 6527 ~
dishohîhkan oleh Muhammad Nâshiruddîn al-Albânî; as-Silsilah al-Ahâdîts
ash-Shohîhah no 599].
⇛ Hadîts mulia ini menjelaskan
bahwa Allôh ﷻ akan membangkitkan
orang yang akan memperbaiki keadaan pemahaman agama Ummat Islâm yang telah
rusak pada setiap kurun 100 tahun, yang mana artinya takkan mungkin pembaharu
itu adalah cerminan dari rakyat yang rusak.
☠ Jadi, sama sekali tak bisa
menjadikan ungkapan "pemimpin adalah cerminan rakyatnya" sebagai
suatu qoidah yang muthlaq dan sudah paten, kemudian membangun darinya pemahaman
bahwa rakyat harus "nrimo saja" terhadap kezhôliman penguasa
-sehingga membiarkan punggungnya dihajar dan hartanya digasak- karena toh
penguasa itu adalah cerminan rakyatnya sendiri.
Bahkan lebih konyolnya lagi
adalah rakyat malah dituntut mendo'akan kebaikan bagi si penguasa yang zhôlim
itu. Ini sungguh itu adalah qoidah yang bathil, karena penguasa justru punya
pengaruh yang sangat besar terhadap kerusakan rakyat yang dipimpinnya. Di dalam
al-Qur-ân, Allôh ﷻ menceritakan
bagaimana rakyat yang mengikuti pemimpin-pemimpin yang zhôlim, penguasa yang
tak di atas kebenaran, mereka itu kelak ketika diadzab di Neraka sehingga
menyesali perbuatan mereka dulu di Dunia.
📌 Kata Allôh ﷻ mengisahkan:
وَقَالُوا رَبَّنَا إِنَّا أَطَعْنَا
سَادَتَنَا وَكُبَرَاءَنَا فَأَضَلُّونَا السَّبِيلَا رَبَّنَا آتِهِمْ ضِعْفَيْنِ مِنَ الْعَذَابِ
وَالْعَنْهُمْ لَعْنًا كَبِيرًا
(arti) “Dan mereka berkata:
"Wahai Robb kami, sungguh kami telah menta'ati sâdatanâ kami dan
kubarô-anâ kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan yang benar. Wahai Robb
kami, timpakanlah kepada mereka adzab dua kali lipat, dan kutuklah mereka
dengan kutukan yang besar!"” [QS al-Ahzâb (33) ayat 67-68].
⇒ Imâm Ibnu Katsîr رحمه الله di dalam kitâb
tafsîrnya berkata bahwa Thôwus رحمه الله
mengatakan menjelaskan arti kata "sâdatanâ" itu adalah para penguasa
pemerintahan, sedangkan arti kata "kubarô-anâ" adalah adalah pemimpin
keagamaan [lihat: Atsar Riwayat Ibnu Abî Hâtim].
Para rakyat itu dahulu semasa
hidup di Dunia menta'ati dan mengikuti para penguasa dan para pembesar agama
mereka, padahal penguasa dan pembesar mereka itu telah menyelisihi para Rosûl. Kenapa?
Sebab mereka dahulu meyakini
bahwa dengan mengikuti para penguasa dan pembesar itu akan memberikan manfaat.
Mereka meyakini dirinya ada di atas kebenaran, padahal hakikatnya mereka
menyimpang jauh dari kebenaran.
📌 Kata Allôh ﷻ:
وَلَوْ تَرَىٰ إِذِ الظَّالِمُونَ مَوْقُوفُونَ
عِندَ رَبِّهِمْ يَرْجِعُ بَعْضُهُمْ إِلَىٰ بَعْضٍ الْقَوْلَ يَقُولُ الَّذِينَ
اسْتُضْعِفُوا لِلَّذِينَ اسْتَكْبَرُوا لَوْلَا أَنتُمْ لَكُنَّا مُؤْمِنِينَ
قَالَ الَّذِينَ اسْتَكْبَرُوا
لِلَّذِينَ اسْتُضْعِفُوا أَنَحْنُ صَدَدْنَاكُمْ عَنِ الْهُدَىٰ بَعْدَ إِذْ
جَاءَكُم ۖ بَلْ كُنتُم مُّجْرِمِينَ
وَقَالَ الَّذِينَ اسْتُضْعِفُوا لِلَّذِينَ اسْتَكْبَرُوا بَلْ مَكْرُ
اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ إِذْ تَأْمُرُونَنَا أَن نَّكْفُرَ بِاللَّهِ وَنَجْعَلَ
لَهُ أَندَادًا ۚ وَأَسَرُّوا النَّدَامَةَ لَمَّا رَأَوُا الْعَذَابَ وَجَعَلْنَا
الْأَغْلَالَ فِي أَعْنَاقِ الَّذِينَ كَفَرُوا
(arti) “(Wahai Muhammad,) Dan
apabila kelak di Âkhirot kamu melihat saat orang-orang yang musyrik itu berdiri
di hadapan Robb-nya, pasti kamu akan menyaksikan sesama mereka saling
menyalahkan satu sama lainnya. Orang-orang kâfir yang lemah dan menjadi pembeo
akan berkata kepada para pemimpin mereka yang dulu menyombongkan diri
mengingkari al-Qur-ân: "Sekiranya di Dunia dulu kami tak mengikuti ajakan
kalian, niscaya kami menjadi orang-orang yang berîmân!". Para pemimpin
mereka yang dulu sombong mengingkari al-Qur-ân itu lalu berkata kepada mereka:
"Setelah al-Qur-ân itu datang kepada kalian, apakah kami yang menyesatkan
kalian dari petunjuk al-Qur-ân? Ataukah karena dosa-dosa kalian sendiri lalu kalian
menolak al-Qur-ân?". Orang-orang kâfir pembeo itu lalu berkata kepada para
pemimpin mereka yang sesat: "Bukankah kalian di Dunia dulu siang dan malam
membuat tipu-daya yang menyuruh kami semua untuk kâfir kepada Allôh dan
menyembah sesembahan-sesembahan yang lain selain dari Allôh?". Para kâfir
pembeo itu memendam rasa penyesalan tatkala mereka menyaksikan adzab. Kami
memasang belenggu-belenggu di atas tengkuk orang-orang yang kâfir.” [QS
Saba’ (34) ayat 31-33].
📌 Di dalam ayat yang
lain, kata Allôh ﷻ mengisahkan:
وَإِذْ يَتَحَاجُّونَ فِي النَّارِ فَيَقُولُ
الضُّعَفَاءُ لِلَّذِينَ اسْتَكْبَرُوا إِنَّا كُنَّا لَكُمْ تَبَعًا فَهَلْ
أَنتُم مُّغْنُونَ عَنَّا نَصِيبًا مِّنَ النَّارِ قَالَ الَّذِينَ اسْتَكْبَرُوا إِنَّا كُلٌّ
فِيهَا إِنَّ اللَّهَ قَدْ حَكَمَ بَيْنَ الْعِبَادِ
(arti) “Dan ketika kaum
Fir‘aun bertengkar di dalam Neraka, maka orang-orang yang pembeo dari kaum
Fir‘aun berkata kepada para pembesar Fir‘aun yang dulunya sangat congkak:
"Sungguh dulu kami adalah pengikut-pengikutmu, maka apakah kalian dapat
menyelamatkan dari kami adzab Neraka?". Para pembesar Fir‘aun yang dulu
sangat congkak itu menjawab: "Kita semua sama-sama berada dalam
penderitaan adzab Neraka. Sungguh Allôh telah selesai mengadili perkara
hamba-hamba-(Nya)."” [QS al-Mu’min / Ghôfir (40) ayat 47-48].
📌 Di dalam ayat yang
lain, Allôh ﷻ mengisahkan betapa
para penguasa / pemimpin yang zhôlim itu malah mengelak dan berlepas diri dari
pada pengikunya dulu:
وَبَرَزُوا لِلَّهِ جَمِيعًا فَقَالَ
الضُّعَفَاءُ لِلَّذِينَ اسْتَكْبَرُوا إِنَّا كُنَّا لَكُمْ تَبَعًا فَهَلْ
أَنتُم مُّغْنُونَ عَنَّا مِنْ عَذَابِ اللَّهِ مِن شَيْءٍ ۚ قَالُوا لَوْ
هَدَانَا اللَّهُ لَهَدَيْنَاكُمْ ۖ سَوَاءٌ عَلَيْنَا أَجَزِعْنَا أَمْ صَبَرْنَا
مَا لَنَا مِن مَّحِيصٍ
(arti) “Dan mereka semuanya
(di Padang Mahsyar) akan berkumpul menghadap ke hadirat Allôh, lalu berkatalah
orang-orang yang lemah (para rakyat) kepada orang-orang yang sombong (para
penguasa): "Sungguh kami dulu adalah pengikut-pengikutmu, maka dapatkah
kamu menghindarkan kami dari adzab Allôh (walaupun hanya) sedikit saja?".
Mereka (para penguasa) menjawab: "Seandainya Allôh memberi petunjuk kepada
kami, niscaya kami dapat memberi petunjuk kepada kalian. Sama saja bagi kita apakah
kita mengeluh ataukah bersabar. Sekali-kali kita tak mempunyai tempat untuk
melarikan diri."” [QS Ibrôhîm (14) ayat 21].
Di dalam sebuah hadîts mulia,
Baginda Nabî ﷺ jelas-jelas mengatakan bahwa para pemimpin yang tak mau
berhukum dengan hukum Allôh ﷻ adalah biang kerok dari
kekacauan dan permusuhan pada masyarakatnya.
📌 Kata Baginda Nabî ﷺ:
يَا مَعْشَرَ الْمُهَاجِرِينَ ، خَمْسٌ إِذَا
ابْتُلِيتُمْ بِهِنَّ ، وَأَعُوذُ بِاللَّهِ أَنْ تُدْرِكُوهُنَّ : … وَمَا لَمْ
تَحْكُمْ أَئِمَّتُهُمْ بِكِتَابِ اللَّهِ وَيَتَخَيَّرُوا مِمَّا أَنْزَلَ
اللَّهُ ، إِلَّا جَعَلَ اللَّهُ بَأْسَهُمْ بَيْنَهُمْ
(arti) “Wahai sekalian
Muhâjirîn, ada lima perkara yang apabila kalian tertimpa akan hal itu, namun
aku berlindung kepada Allôh jangan sampai kalian menemuinya: … Selama para
pemimpin mereka tak berhukum dengan Kitâbullôh dan tidak memilih apa yang
diturunkan oleh Allôh, niscaya Allôh akan jadikan mereka berperang satu sama
lainnya.” [HR Ibnu Mâjah no 4019 ~ dinilai hasan oleh Muhammad Nâshiruddîn
al-Albâni, as-Silsilah Ahadîts ash-Shohîhah no 106].
⚠ Jadi, sangat tidak tepat
kalau sebagian orang saat ini selalu menunjuk hidung rakyat sebagai biang kerok
dari semua kekacauan, seakan mereka melepaskan penguasa dari tanggung-jawabnya!
Realistis saja, peran penguasa
dalam merusak kehidupan bermasyarakat dan bernegara itu jauh lebih besar
daripada peran rakyat itu sendiri. Hal itu karena kebijakan dan kekuasaan ada
di tangan para penguasa. Penguasalah yang membuat kebijakan dan melaksanakan
kebijakan, merekalah yang mengendalikan rakyat. Kalau penguasa itu baik, maka
rakyat jadi baik karena kebijakan dari penguasanya baik dan para penguasa itu
pasti berusaha membuat keadaan jadi baik. Sedangkan kalau penguasanya buruk,
maka rakyatnya juga akan jadi buruk, karena kebijakannya buruk dan mereka tak
peduli dengan keadaan rakyatnya.
Ketika Do'a Menjadi Senjata Mu’min Terhadap Kezhôliman Penguasa
Dahulu saat Nabiyullôh Mûsâ عليه الصلاة و السلامsudah merasa
memuncak kemarahannya terhadap kelaliman sang Penguasa Negeri Mesir, yaitu
Fir‘aûn dan kroni-kroninya, disebabkan Fir‘aun mendustakan agama الله dan menzhôlimi
orang-orang yang berîmân. Maka Nabî Mûsâ عليه
الصلاة و السلامpun berdo'a kepada Allôh ﷻ.
📌 Kata Allôh ﷻ mengisahkan do'a Nabî Mûsâ tersebut:
رَبَّنَا إِنَّكَ آتَيْتَ فِرْعَوْنَ
وَمَلَأَهُ زِينَةً وَأَمْوَالًا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا رَبَّنَا لِيُضِلُّوا
عَن سَبِيلِكَ ۖ رَبَّنَا اطْمِسْ عَلَىٰ أَمْوَالِهِمْ وَاشْدُدْ عَلَىٰ
قُلُوبِهِمْ فَلَا يُؤْمِنُوا حَتَّىٰ يَرَوُا الْعَذَابَ الْأَلِيمَ
(arti) “Wahai Robb kami, sungguh
Engkau telah memberikan Fir‘aun dan pemuka-pemuka kaumnya perhiasan dan harta
kekayaan dalam kehidupan di Dunia. Wahai Robb kami, akibatnya mereka
menyesatkan (manusia) dari jalan-Mu. Wahai Robb kami, binasakanlah harta benda
mereka, dan kunci matilah hati mereka, mereka takkan pernah berîmân hingga
mereka melihat adzab yang pedih.” [QS Yûnus (10) ayat 88].
⇒ Lihatlah betapa mengerikannya
permintaan dalam do'a Nabî Mûsâ عليه الصلاة و
السلام kepada Allôh ﷻ untuk keburukan
penguasa negeri Mesir dan kroni-kroninya itu!
Maka apa jawaban Allôh ﷻ terhadap do'a Nabî Mûsâ itu?
📌 Kata Allôh ﷻ:
قَدْ أُجِيبَت دَّعْوَتُكُمَا فَاسْتَقِيمَا
وَلَا تَتَّبِعَانِّ سَبِيلَ الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ
(arti) “Sungguh telah
diperkenankan permohonan kalian berdua. Sebab itu, tetaplah kalian berdua pada
jalan yang lurus, dan janganlah sekali-kali kalian mengikuti jalan orang-orang
yang tidak mengetahui.” [QS Yûnus (10) ayat 89].
Ada banyak contoh do'a dari para
Nabiyullôh meminta keburukan terhadap kaumnya termasuk penguasanya yang kâfir
lagi zhôlim, yang diabadikan oleh Allôh ﷻ
di dalam al-Qur-ân.
❓ Tapi bukankah penguasa zaman
sekarang tak sebengis dan sekâfir Fir‘aun, dan bukankah kita juga bukanlah Nabî
Mûsâ?
Iya, mungkin penguasa yang
sekarang ada tampaknya tidak sekâfir, tidak sebengis, dan tidak pula selalim
Fir‘aun, dan pastinya siapapun manusia di zaman sekarang juga takkan mungkin
seperti Nabî Mûsâ عليه الصلاة و السلام.
Namun, itu bukanlah jadi larangan mendo'akan keburukan bagi penguasa yang
zhôlim, sebab telah jelas Baginda Nabî ﷺmendo'akan
keburukan bagi siapapun yang mempunyai kekuasaan atas Ummat Islâm lalu ia
berbuat zhôlim terhadapnya.
📌 Do'a Baginda Nabî ﷺ:
اللّٰهُمَّ مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي
شَيْئًا فَشَقَّ عَلَيْهِمْ فَاشْقُقْ عَلَيْهِ وَمَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ
أُمَّتِي شَيْئًا فَرَفَقَ بِهِمْ فَارْفُقْ بِهِ
(arti) “Wahai Allôh, siapa
saja yang menjabat suatu jabatan dalam pemerintahan ummatku, lalu ia
mempersulit urusan mereka, maka persulitlah ia. Siapa saja yang menjabat suatu
jabatan dalam pemerintahan ummatku, lalu ia berusaha menolong mereka, maka
tolong pulalah ia.” [HR Muslim no 1828; Ahmad no 23481, 25003, 25015].
Dalam sebuah riwayat dari Abû
‘Awânah dalam kitâb shohîhnya, penguasa yang khianat itu malah dido'akan la‘nat
oleh Nabî ﷺ!
📌 Kata Baginda Nabî ﷺ:
مَنْ وَلِيَ مِنْهُمْ شَيْئًا فَشَقَّ
عَلَيْهِمْ فَعَلَيْهِ بَهْلَةُ اللَّهِ ؛ فَقَالُوا : يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا
بَهْلَةُ اللَّهِ ؛ قَالَ : لَعْنَةُ اللَّهِ
(arti) “Siapa saja yang
memimpin mereka (kaum Muslimîn) dalam suatu urusan lalu ia menyulitkan mereka,
maka semoga bahlatullôh atasnya” ; Maka mereka pun bertanya: "Wahai
Rosûlullôh, apakah bahlatullôh itu?" ; Beliau ﷺ menjawab: “La‘nat Allôh.” [lihat: Subulus-Salâm no 1401].
📌 Di dalam riwayat
lain dari Ummul Mu’minin ‘Â-isyah رضي الله عنها,
Baginda Nabî ﷺ pernah berdo'a:
اللَّهُمَّ مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي
شَيْئًا فَشَقَّ عَلَيْهِمْ فَاشْقُقْ عَلَيْهِ وَمَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ
أُمَّتِي شَيْئًا فَرَفَقَ بِهِمْ فَارْفُقْ بِهِ
(arti) “Wahai Allôh, siapa
saja yang menjabat suatu jabatan yang mengatur urusan ummatku lalu ia
mempersulit urusan mereka, maka persulitlah ia, dan siapa saja yang menjabat
suatu jabatan yang mengatur urusan ummatku lalu ia berusaha menolong mereka,
maka tolonglah ia.” [HR Muslim no 1828; Ahmad no 23481, 25015].
⚠ Perhatikan, ketika Baginda
Nabî ﷺ mengatakan do'a tersebut, maka posisi
Beliau ﷺ bukanlah dalam posisi
yang dizhôlimi oleh penguasa, namun jelas-jelas Nabî ﷺ
mendo'akan keburukan penguasa yang zhôlim kepada kaum Muslimîn. Maka apalagi
do'a orang (rakyat) yang sedang dizhôlimi…???
📌 Bukankah Baginda
Nabî ﷺ pernah berkata:
اتَّقِ دَعْوَةَ الْمَظْلُومِ ، فَإِنَّهَا
لَيْسَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ اللَّهِ حِجَابٌ
(arti) “Takutlah dengan do'a
orang yang dizhôlimi, karena tiada pembatas antara ia dengan Allôh.” [HR
al-Bukhôrî no 1496, 2448, 4347; Muslim no 19; Abû Dâwûd no 1584; at-Tirmidzî no
625, 2014; an-Nasâ-î no 2435, 2522; Ibnu Mâjah no 1783; Ahmad no 1967;
ad-Dârimî no 1655].
Jika dilihat redaksi lengkap dari
hadîts tersebut, maka jelas-jelas itu adalah perintah Nabî ﷺ kepada Shohâbat Mu‘âdz ibn Jabal رضي
الله عنه untuk berlaku ‘adil terhadap orang-orang dari penduduk Yaman
yang ta'at kepadanya (Mu‘âdz diutus sebagai pengambil harta zakat).
☠ Jadi sungguh sangat
menggelikan jikalau sudah dizhôlimi sedemikian rupa, tapi malah orang dilarang-larang
mendo'akan keburukan terhadap penguasa yang menzhôliminya, sementara Baginda
Nabî ﷺ jelas-jelas memerintahkan
untuk berhati-hati dengan do'a orang yang dizhôlimi?
Jika membuka kitâb Hisnul Muslim,
karya Syaikh Dr Sa‘îd ibn ‘Alî Wahf al-Qothoni, maka akan ditemukan do'a
berikut yang diajarkan oleh Baginda Nabî ﷺ
kepada kaum Muslimîn saat berhadapan dengan penguasa yang zhôlim.
📌 Baginda Nabî ﷺ:
اَللّٰهُـمَّ إِنّاا نَجْـعَلُكَ فِي
نُحُـوْرِهِـمْ ، وَنَعـُوْذُ بِكَ مِنْ شُرُوْرِهِـمْ
(arti) “Wahai Allôh, sungguh
kami menjadikan-Mu di depan kami dalam menghadapi mereka, dan kami berlindung
kepada-Mu dari kejahatan mereka.” [HR Abû Dâwud no 1537 ~ Shohîh Sunan Abî
Dâwud II/335].
Masih di dalam kitâb Hisnul
Muslim juga, Nabî ﷺjuga mengajarkan do'a saat
menghadapi kezhôliman penguasa:
اَللّٰهُمَّ رَبَّ السَّمَاوَاتِ السَّبْعِ ،
وَرَبَّ الْعَرشِ الْعَظِيْمِ ، كُنْ لِيْ جَارًا مِنْ فُلَانِ وَأَحْزَابِهِ مِنْ
خَلَائِقِكَ ، أَنْ يَفْرُطَ عَلَيَّ أَحَدٗ مِنْهُمْ أَوْ يَطْغَى ، عَزَّ
جَارُكَ ، وَجَلَّ ثَنَاؤُكَ ، وَلَا إِلٰهَ إِلَّا أَنْتَ
(arti) “Wahai Allôh, Robb 7
lapis Langit dan Bumi, Robb ‘Arsy yang agung, jadilah penolongku kala
menghadapi Fulân dan dari sekutunya dari makhluk ciptaan-Mu, (agar) tiada
seseorang pun dari mereka berlaku sewenang-wenang terhadapku atau melampaui
batas, pembelaan-Mu amatlah besar, pujian terhadap-Mu amatlah agung, dan tiada
sesembahan yang berhak di‘ibadahi dengan benar selain dari Engkau.” [HR
al-Bukhôrî, al-Adab al-Mufrod no 707; Ibnu Abî Syaibah no 29176 ~ dishohîhkan
oleh Muhammad Nâshiruddîn al-Albânî, as-Silsilah adh-Dho‘ifah no 2400].
Atau lafazh lainnya:
اَللهُ أَكْبَرُ ، اَللهُ أَعَزُّ مِنْ
خَلْقِهِ جَمِيْعًا ، اَللهُ أَعَزُّ مِمَّا أَخَافُ وَأَحْذَرُ ، أَعُوْذُ
باِللهِ الَّذِيْ لَا إِلٰهَ إِلَّا هُوَ الْمُمْسِكِ السَّمَاوَاتِ السَّبْعِ
أَنْ يَقَعْنَ عَلَى اْلأَرْضِ إِلَّا بِإِذْنِهِ ، مِنْ شَرِّعَبْدِكَ فُلاَنٍ ،
وَجُنُوْدِهِ وَأَتْبَاعِهِ وَأَشْيَاعِهِ ، مِنَ الْجِنِّ وَاْلإِنْسِ ،
اَللّٰهُمَّ كُن لِيْ جَارًا مِنْ شَرِّهِمْ ، جَلَّ ثَنَاؤُكَ وَعَزَّ جَارُكَ ،
وَتَبَارَكَ اسْمُكَ ، وَلَا إِلٰهَ غَيْرُكَ
(arti) “Allôh Maha Besar,
Allôh lebih perkasa dibanding seluruh makhluq-Nya, Allôh lebih perkasa
dibanding semua yang saya takuti dan saya khawatirkan. Saya berlindung kepada
Allôh yang tiada sesembahan yang berhak di‘ibâdahi dengan benar selain dari-Nya,
Yang mengendalikan 7 Langit hingga tak runtuh ke Bumi kecuali atas seizin-Nya,
dari kejahatan hamba-Mu Fulân dan bala tentaranya serta pendukung-pendukungnya
dari golongan jinn dan manusia. Wahai Allôh, jadilah penolongku untuk
menghindari kejahatan mereka. Pujian terhadap-Mu amatlah agung, perlindungan-Mu
amatlah besar, Maha Suci nama-Mu, dan dari-Mu. Tiada sesembahan yang berhak
di‘ibâdahi dengan benar selain dari Engkau.” [HR al-Bukhôrî, al-Adab
al-Mufrod no 708; Ibnu Abî Syaibah no 29177; ath-Thobrônî, al-Mu’jam al-Kabîr no 10599; al-Baihaqî, ad-Da‘awât no 422].
Mendo'akan Kebaikan Suatu Negeri Adalah Sunnah Nabiyullôh
Salah satu do'a dari para
Nabiyullôh yang Allôh ﷻ abadikan dalam al-Qur-ân adalah
do'a al-Kholil Ibrôhîm عليه الصلاة و السلام
untuk negeri Makkah agar menjadi negeri yang aman.
📌Kata Allôh ﷻ mengisahkan:
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ
هَٰذَا بَلَدًا آمِنًا وَارْزُقْ أَهْلَهُ مِنَ الثَّمَرَاتِ مَنْ آمَنَ مِنْهُم
بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ
(arti) “Dan (ingatlah) ketika
Ibrôhîm berdo'a: "Wahai Robb-ku, jadikanlah negeri ini negeri yang aman sentosa,
dan berikanlah rezeki dari buah-buahan kepada penduduknya yang berîmân (di
antara mereka) kepada Allôh dan Hari Âkhir."” [QS al-Baqoroh (2) ayat
126].
Nabî Ibrôhîm عليه الصلاة و السلام berdo'a: robbi ij-‘al hâdzâ baladan aminan
warzuq ahlahu mina atstsamarôti man amana minhum billâhi walyawmil akhir,
Beliau mendo'akan negeri tersebut… maka begitu juga saat Baginda Nabî ﷺ berda‘wah di Thô-if, lalu Beliau dizhôlimi
oleh penduduk Thô-if, yang mana tentunya tindakan itu pasti dimotori oleh para
pemimpin / pemuka masyarakat di sana. Kemudian datanglah Malâ-ikat Jibrîl
dengan Malâ-ikat Penjaga Gunung, yang seandainya diperintahkan oleh Nabî untuk
menimpakan gunung ke kota Thô-if, maka ia telah diberikan izin oleh Allôh ﷻ untuk melakukan hal tersebut. Akan tetapi
apa jawab Baginda Rosûlullôh?
📌Kata Baginda Nabî ﷺ:
بَلْ أَرْجُو أَنْ يُخْرِجَ اللَّهُ مِنْ
أَصْلَابِهِمْ مَنْ يَعْبُدُ اللَّهَ وَحْدَهُ لَا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا
(arti) “Tidak, namun aku
berharap (berdo'a) supaya Allôh membangkitkan dari anak keturunan mereka orang
yang ber‘ibâdah kepada Allôh semata, tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu
apapun juga.” [HR al-Bukhôrî no 3231; Muslim no 1795].
Begitulah do'a para Nabiyullôh
ketika dihadapkan dengan kezhôliman rakyat - yang tentunya dimotori oleh para
pemuka / pemimpin kaumnya.
⚠ Jelas mendo'akan kebaikan
bagi suatu negeri atau penduduknya adalah sunnah dari para Nabiyullôh, bukan
mendo'akan kebaikan terhadap pemimpin yang zhôlim.
☠ Adapun mendo'akan kebaikan
bagi penguasa yang zhôlim lagi jahat kepada kaum Muslimîn, penguasa yang
mengambil sekutu dari kaum kuffâr yang memusuhi Ummat Islâm, maka entahlah
sunnah dari siapa yang model begitu…???
Tidak mungkin penguasa yang
zhôlim –yang suka berdusta kepada rakyatnya, suka ingkar janji, suka berlaku
tidak adil dan zhôlim kepada rakyatnya– malah dido'akan dengan kebaikan, karena
penguasa yang seperti itu bahkan diancam oleh Baginda Nabî ﷺ.
📌 Kata Baginda Nabî ﷺ:
مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيهِ اللَّهُ
رَعِيَّةً يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ إِلَّا حَرَّمَ
اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ
(arti) “Siapa saja yang
dibebankan oleh Allôh untuk memimpin rakyatnya, lalu ia mati dalam keadaan
menipu rakyatnya, niscaya Allôh mengharômkan Syurga atasnya!” [HR Muslim no
142; ad-Dârimî no 2838].
Bahkan, mendo'akan keburukan bagi
penguasa zhôlim itu juga dilakukan oleh para ‘ulamâ’ Salafush-Shôlih dari
kalangan Tâbi‘în yang terkemuka seperti:
📍 Sa‘îd ibn Jubayr رضي الله عنه –seorang ‘ulamâ’ ahli
fiqih dan ahli tafsîr, salah satu murid terbaik dari Shohâbat ‘Abdullôh ibn
‘Abbâs رضي الله عنهما– pernah mengecam
keras Gubernur di Madînah saat itu, yaitu: al-Hajjâj ibn Yûsuf ats-Tsaqofî,
yang terkenal sangat zhôlim, sebagaimana dikisahkan oleh Abû al-Yaqzhôn:
كان سعيد بن جبير يقول يوم دير الجماجم وهم
يقاتلون : قاتلوهم على جورهم في الحكم وخروجهم من الدين وتجبرهم على عباد الله
وإماتتهم الصلاة واستذلالهم المسلمين . فلما انهزم أهل دير الجماجم لحق سعيد بن
جبير بمكة فأخذه خالد بن عبد الله فحمله إلى الحجاج مع إسماعيل بن أوسط البجلي
(arti) “Sa‘îd ibn Jubayr
pernah berkata ketika hari Dîr al-Jamâjim, saat itu ia sedang berperang
(melawan pasukan al-Hajjâj): "Perangilah mereka karena kezhôliman mereka
dalam menjalankan pemerintahan, keluarnya mereka dari agama, dan kesombongan
mereka terhadap hamba-hamba Allôh. Mereka mematikan sholât dan merendahkan kaum
Muslimîn!". Ketika penduduk Dîr al-Jamâjim kalah, Sa‘îd ibn Jubayr
mengungsi ke Makkah. Kemudian ia dijemput oleh Khôlid ibn ‘Abdullôh, lalu
dibawa kepada al-Hajjâj bersama Ismâ-‘îl ibn Awsath al-Bajalî.” [Atsar
Riwayat Muhammad ibn Sa‘ad, Thobaqot al-Kubro VI/265].
📍 Sa‘îd ibn
al-Musayyib رحمه الله –seorang ‘ulamâ’
Tâbi‘în senior (wafat tahun 94H)– malah mendo'akan keburukan kepada Banî Marwan
sebagaimana yang diriwayatkan muridnya, ‘Âlî ibn Zaid ibn Jud‘an, dari
perkataan gurunya:
حدثنا الحجاج ، ثنا حماد ، عن علي بن زيد قال :
قلت لسعيد بن المسيب : يزعم قومك أنه إنما منعك من الحج أنك جعلت لله عليك إذا
رأيت الكعبة أن تدعو على بني مروان ؟ قال : ما فعلت ، وما أصلي لله صلاة إلا دعوت
الله عليهم ! ، وإني قد حججت واعتمرت بضعا وعشرين مرة
(arti) “Al-Hajjâj menceritakan
kepada kami, Hammâd menceritakan kepada kami, dari ‘Alî ibn Zayd: "Saya
bertanya kepada Sa‘îd ibn al-Musayyib: "Kaum anda mengatakan yang
menghalangi anda untuk berhajji adalah setiap kali melihat Ka‘bah, anda
mendo'akan keburukan atas Banî Marwân?". Sa‘îd menjawab: "Bukan itu
yang saya lakukan, justru setiap kali sehabis sholât, saya selalu mendo'akan
keburukan buat mereka! Saya ini telah berhajji dan ber‘umroh lebih dari 20
kali."” [lihat: Ya‘qub al-Fasawi, al-Ma’rifah wat-Tarikh jil 1 hal
474].
📍 Ibrôhîm ibn Yazid
an-Nakho‘î رحمه الله (wafat tahun 96 H) yang apabila
disebut nama al-Hajjâj ibn Yûsuf ats-Tsaqofî di hadapannya, maka beliau
berkata: "Ketahuilah, sungguh la’nat Allôh atas orang-orang yang
zhôlim!".
📍 Imâm al-Hasan
al-Bashri رحمه الله (wafat tahun 110 H)
yang terang-terangan berkhutbah mencela al-Hajjâj ibn Yûsuf ats-Tsaqofî [lihat:
Syaikh ‘Abdul-Mun‘im al-Hasyimi, ‘Ashrut-Tâbi‘în].
📍 Imâm Ahmad ibn
Hanbal رحمه الله (wafat tahun 241 H)
pernah diancam untuk dipenggal dengan pedang oleh Kholîfah al-Ma’mun jika
beliau tak mau mengatakan bahwa al-Qur-ân itu adalah makhluq (fitnah Kholqi
al-Qur-ân). Pada saat beliau mendengar kabar tersebut, Imâm Ahmad mendo'akan
keburukan terhadap Kholîfah al-Ma’mun dengan do'a:
سَيِّدِي غَرَّ هَذَا الْفَاجِرَ حِلْمُكَ
حَتَّى يَتَجَرَّأَ عَلَى أَوْلِيَائِكَ بِالْقَتْلِ وَالضَّرْبِ ، اللَّهُمَّ
فَإِنْ يَكُنِ الْقُرْآنُ كَلَامَكَ غَيْرَ مَخْلُوقٍ فَاكْفِنَا مُؤْنَتَهُ
(arti) “Tuhanku, si Durjana
ini telah tertipu oleh kelembutan-Mu sampai ia berani membunuh dan memukul para
walî-Mu. Wahai Allôh, kalau al-Qur-ân adalah kalam-Mu, bukan makhluq, maka
bebaskan kami dari akibat buruknya al-Ma‘mun.” [lihat: Abû Nu‘aim, al-Hilyah
al-Awliyâ’].
📍 Syaikhul Islâm Ibnu
Taimiyah رحمه اللهmendo'akan Mahmûd
Ghôzân, seorang penguasa Ilkhanat yang zhôlim pada masa beliau dengan do'a:
اللهم إن كان هذا عبدك محمود إنما يقاتل لتكون
كلمتك هي العليا وليكون الدين كله لك فانصره وأيده وملكه البلاد والعباد ، وإن كان
إنما قام رياء وسمعة وطلبا للدنيا ولتكون كلمته هي العليا وليذل الإسلام وأهله
فآخذ له وزلزله ودمره واقطع دبره
(arti) “Wahai Allôh,
seandainya hamba-Mu yang bernama Mahmûd itu berjihâd demi menjadikan kalimat-Mu
sebagai yang tertinggi, dan menjadikan agama ini semuanya bagi-Mu, maka
tolonglah ia, kuatkanlah ia, dan berilah ia kekuasaan atas negeri-negeri dan
budak-budak. Namun apabila seandainya ia berdiri berjihâd karena riyâ’ dan
sum‘ah, dan karena menginginkan keduniawian, dan menjadikan kalimat dirinya
sebagai yang tertinggi, dan menghinakan Islâm dan penganutnya, maka cabutlah
kerajaannya, hancurkanlah ia, dan musnahkanlah ia!” [lihat: Ibnu Katsîr,
al-Bidâyah wa an-Nihâyah XIV/102].
☠ Jadi jelas tidak akan masuk
akal sehat dan tak terterima dengan hati nurani, apabila para Nabiyullôh justru
mendo'akan keburukan bagi penguasa yang zhôlim, sementara ada orang Zaman Now
yang malah nekad menentangnya dengan menyuruh mendo'akan kebaikan bagi penguasa
yang zhôlim itu…???
⚠ Ingatlah bahwa mendukung
kedustaan dan kezhôliman penguasa –dengan cara apapun juga termasuk juga dengan
cara memelintir pemahaman atas dalîl– telah diancam keras oleh Baginda Nabî ﷺ.
📌Kata Baginda Nabî ﷺ:
اسْمَعُوا ! هَلْ سَمِعْتُمْ أَنَّهُ سَيَكُونُ
بَعْدِي أُمَرَاءُ ، فَمَنْ دَخَلَ عَلَيْهِمْ فَصَدَّقَهُمْ بِكَذِبِهِمْ
وَأَعَانَهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ فَلَيْسَ مِنِّي وَلَسْتُ مِنْهُ وَلَيْسَ
بِوَارِدٍ عَلَىَّ الْحَوْضَ ، وَمَنْ لَمْ يَدْخُلْ عَلَيْهِمْ وَلَمْ يُعِنْهُمْ
عَلَى ظُلْمِهِمْ وَلَمْ يُصَدِّقْهُمْ بِكَذِبِهِمْ فَهُوَ مِنِّي وَأَنَا مِنْهُ
وَهُوَ وَارِدٌ عَلَىَّ الْحَوْضَ
(arti) “Dengarkanlah! Apakah
kalian pernah mendengar bahwa setelah aku akan ada penguasa-penguasa, siapa
saja yang mendekat-dekat kepada mereka dan membenarkan kedustaan mereka, dan mendukung
kezhôliman yang mereka lakukan, maka ia bukanlah bagian (ummat)ku dan aku
bukanlah bagian darinya, dan dia tidak akan ikut minum bersamaku di al-Hawdh!
Siapa saja yang tidak mendekat-dekat kepada mereka, tidak menolong kezhôliman
mereka, dan tidak membenarkan kedustaan mereka, maka ia adalah bagian dari
(ummat)ku dan aku adalah bagian darinya, dan ia akan minum bersamaku di
al-Hawdh.” [HR at-Tirmidzî no 2259; an-Nasâ-î no 4208; Ahmad no 17424].
☠ Perhatikan, mendekat-dekat
kepada penguasa zhôlim saja sudah diancam tak diakui sebagai ummatnya Baginda
Nabî ﷺ, maka apalagi malah berani-beraninya memalsukan
atau memelintir dalîl dan perkataan ‘ulamâ’ demi melanggengkan kekuasaan
penguasa lalim…?!?
اتق الله حيثما كنت
Mendo'akan Hidayah Bagi Penguasa Kâfir / Munâfiq?
Ada ungkapan yang sering
digadang-gadangkan oleh sebagian orang, yaitu: "Kalau kau cela pemimpinmu,
pemimpinmu akan berubah tidak? Tidak akan berubah! Tetapi kalau kau do'akan
pemimpinmu, maka Allôh Maha Bisa mengubah pemimpinmu! Lalu kenapa tak kau
do'akan pemimpinmu?"
Pernyataan itu lantas biasanya
disambung dengan mengambil mengambil dalîl bahwasanya Baginda Nabî ﷺ dahulu pernah mendo'akan agar salah satu
dari dua ‘Umar (‘Umar ibn al-Koththôb atau ‘Amru ibn Hisyâm) agar masuk Islâm.
Maka, memang mendo'akan orang
kâfir semisal: "semoga dia dapat hidayah" atau: "semoga dia
berubah jadi baik", itu tidak pernah ada larangannya secara spesifik.
Apalagi soal hidayah, di mana hanyalah Allôh ﷻ
yang Maha Kuasa atasnya, dan Allôh ﷻ
memberikan hidayah-Nya kepada siapapun yang dikehendaki-Nya.
⁉ Namun, jika mempelajari
siroh Nabawiyyah dengan baik, maka pertanyaanya adalah: "Apakah pernah
Rosûlullôh ﷺ mendo'akan penguasa
yang lalim lagi bejat?"
Perhatikan beberapa poin berikut
ini:
Poin ke-①
│ Baginda Nabî ﷺ ketika mendo'akan
hidayah untuk salah satu dari dua ‘Umar, yaitu ‘Umar ibn al-Khoththôb dan ‘Amr
ibn Hisyam (Abû Jahal), maka pada saat itu kaum Muslimîn masih dalam keadaan
lemah, alias masih sedikit jumlahnya (minoritas) di kota Makkah. Do'a itu pun
tidaklah diungkap oleh Baginda Nabî ke muka umum, dan Nabî ﷺ pun tak pernah menceritakan do'anya kepada para Shohâbat
sebelum ‘Umar ibn al-Khoththôb telah benar-benar masuk ke dalam agama Islâm.
Sementara, mendo'akan hidayah
secara terang-terangan kepada penguasa yang tampak sangat jelas keberpihakannya
kepada kaum kuffâr, yang begitu jelas melakukan perbuatan menentang kebenaran,
maka itu sungguh-sungguh merendahkan harkat dan martabat Ummat Islâm.
Apalagi kalau mengumumkan do'a tersebut
dengan menyebar video dan tulisan di sosmed meminta agar Ummat Islâm
mendo'akanny, maka a itu sangatlah tidak bijak karena dapat melemahkan semangat
dan menurunkan izzah kaum Muslimîn… dan malahan membuat kaum Kuffâr dan para
sekutunya dari kaum Zindiq Munâfiqîn semakin jumawa. Mereka akan semakin
sombong karena merasa: "Tuh kan?!? Ummat Islâm ternyata takut dan mereka
butuh sekali terhadap gue, sampai-sampai memelas dan mengemis-ngemis agar gue
jadi muslim!".
Apalagi kalau dipikir mendalam,
kok ya membandingkan ‘Umar ibn al-Khoththôb رضي
الله عنه yang dido'akan oleh Nabî ﷺ
dengan siapapun pada masa kini? Jauh sekali…!!!
Poin ke-②
│ Tidak semua pembesar kâfir itu dido'akan oleh Baginda Nabî ﷺ.
❗ Silakan temukan apa yang
Baginda Nabî ﷺlakukan ketika menyikapi
kelakuan keji para pemuka kaum Quraisy yang meletakkan isi perut unta ke
punggung suci Baginda Nabî ﷺ pada saat Beliau
sedang ruku’?
Maka apakah Baginda Nabî ﷺ mendo'akan kebaikan terhadap mereka?
Ternyata tidak, sekali-kali
tidak!
📌 Baginda Nabî ﷺ berdo'a:
اللَّهُمَّ عَلَيْكَ بِأَبِي جَهْلٍ ،
وَعَلَيْكَ بِعُتْبَةَ بْنِ رَبِيعَةَ ، وَشَيْبَةَ بْنِ رَبِيعَةَ ، وَالْوَلِيدِ
بْنِ عُتْبَةَ ، وَأُمَيَّةَ بْنِ خَلَفٍ ، وَعُقْبَةَ بْنِ أَبِي مُعَيْطٍ
(arti) “Wahai Allôh, hukumlah
Abû Jahl (ibn Hisyâm), dan hukumlah ‘Utbah ibn Robî‘ah, dan Syaybah ibn
Robî‘ah, dan al-Walîd ibn ‘Utbah, dan Umayyah ibn Kholaf, dan ‘Uqbah ibn Abî
Mu‘ayth!” [HR al-Bukhori no 240, 520, 2934; Muslim no 1794; an-Nasâ-î no
307].
❗ Kemudian silakan temukan apa
yang Baginda Nabî ﷺlakukan dalam menyikapi
kelakuan jahat Ka‘ab ibn al-Asyrof? Apakah Baginda Nabî ﷺ mendo'akan kebaikan bagi Ka‘ab ibn al-Asyrof?
Tidak, sekali-kali tidak!
📌 Bahkan Baginda Nabî ﷺ berkata:
مَنْ لِكَعْبِ بْنِ الأَشْرَفِ ، فَإِنَّهُ
قَدْ آذَى اللَّهَ وَرَسُولَهُ
(arti) “Siapakah yang bersedia
untuk membunuh Ka‘ab ibn al-Asyrof? Karena ia telah menyakiti Allôh dan
Rosûl-Nya.” [HR al-Bukhôrî no 2510, 3031, 3032, 4037; Muslim no 1801; Abû
Dâwûd no 2768].
❗ Atau ketika Baginda Nabî ﷺ mendengar surat Beliau yang ditujukan
kepada Kisrô’ (Kaisar Persia) ternyata malah dicabik-cabik oleh Kisrô’, maka
apakah Nabî mendo'akan kebaikan bagi Kisrô’?
Tidak, sekali-kali tidak!
📌 Bahkan Baginda Nabî ﷺ berdo'a:
أَنْ يُمَزَّقُوا كُلَّ مُمَزَّقٍ
(arti) “(Semoga Allôh)
Merobek-robek (kerajaan Kisrô’) dan menghancurkannya sehancur-hancurnya!”
[HR al-Bukhôrî no 64, 2939, 4424, 7264; Ahmad no 2075, 2644].
❗Apakah pernah terdengar ada
hadîts shohîh tentang Nabî ﷺ yang mendo'akan
hidayah bagi Abû Sufyân Shokhr ibn Harb, padahal Abû Sufyân itu pemimpin kaum
Kâfir Quraisy, dan ia adalah mertuanya Baginda Nabî.
Ternyata tidak ada, walau pada
akhirnya saat Fat-hul Makkah Abû Sufyân masuk Islâm dan menjadi salah seorang
Shohâbat yang mulia.
Tolonglah Saudaramu Yang Berbuat Zhôlim
Orang yang zhôlim itu seharusnya
ditolong…
❓ Pasti heran dan bertanya:
"Loh kok begitu, ya?"
Iya, orang yang berbuat zhôlim
itu harus dicegah dari melakukan perbuatan zhôlimnya.
📌 Kata Baginda Nabî ﷺ:
انْصُرْ أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُومًا
(arti) “Tolonglah saudaramu
yang berbuat zhôlim dan yang dizhôlimi.”
Kemudian ada seorang Shohâbat
bertanya tentang bagaimana caranya menolong orang yang berbuat zhôlim itu?
Jawab Baginda Nabî ﷺ:
تَحْجُزُهُ أَوْ تَمْنَعُهُ مِنَ الظُّلْمِ ،
فَإِنَّ ذَلِكَ نَصْرُهُ
(arti) “Kamu cegah ia dari
berbuat kezhôliman, maka sungguh kamu telah menolongnya.” [HR al-Bukhôrî no
6952; Muslim no 2584; at-Tirmidzî no 2255; Ahmad no 11511, 12606, 13943;
ad-Dârimî no 2795].
⚠ Begitulah Baginda Nabî ﷺ mengajarkan kepada kita ummatnya untuk
mencegah saudara sesama muslim dari berbuat kezhôliman, yang mana demikian itu
adalah sebagai bentuk dari menolong. Maka tentunya seorang penguasa yang
tercitrakan masih muslim tetapi berlaku adalah lebih berhak lagi untuk
ditolong, bukan?
⇛ Adapun bentuk menolongnya tentu
adalah dengan melakukan tindakan amar ma‘rûf nahyi munkar. Misalnya dengan
menasihatinya, baik secara langsung atau terbuka lisan maupun tulisan. Atau pun
dengan mencegahnya dari melakukan kemungkaran apabila memang mampu untuk
melakukan itu.
☠ Sedangkan membiarkan seorang
penguasa muslim yang zhôlim terus berbuat kezhôliman dengan alasan: "toh
ia sudah dido'akan keburukan oleh Nabî", atau berpikir: "toh sudah
ada pemuka-pemuka agama yang menasihatinya secara 4 mata?", atau alasan
konyol: "nanti malah jadi fitnah", maka itu artinya malah tidak
menolongnya dan tidak menginginkan kebaikannya baginya!
Padahal…
📌 Kata Baginda Nabî ﷺ:
لا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ
لأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
(arti) “Tidaklah (sempurna)
berîmânnya seseorang di antara kalian sehingga ia mencintai (kebaikan) untuk
saudaranya sebagaimana ia mencintai (kebaikan) untuk dirinya sendiri.” [HR
al-Bukhôrî no 13; Muslim no 45; at-Tirmidzî no 2705; an-Nasâ-î no 5016, 5017,
5039; Mâlik no 69].
❗ Jadi pastikan orang yang
mengaku îmânnya benar, maka ia melakukan amar ma‘rûf nahyi munkar terhadap
penguasa muslim yang lalim sebagai bentuk kesempurnaan îmân dan wujud
kecintaannya kepada Sunnah Nabî ﷺ.
Iya, karena bukankah juga
mengatakan kebenaran kepada penguasa yang lalim itu adalah bentuk jihâd yang
terbaik?
📌 Kata Baginda Nabî ﷺ:
أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ
سُلْطَانٍ جَائِرٍ -أَوْ أَمِيرٍ جَائِرٍ
(arti) “Sebaik-baik jihâd
adalah mengatakan kebenaran di hadapan penguasa yang lalim - atau pemimpin yang
lalim.” [HR Abû Dâwud no 4344; Ibnu Mâjah no 4011].
⇛ Apabila tidak mampu melakukan amar
ma‘rûf nahyi mungkar dengan tindakan nyata, maka lakukanlah dengan perkataan
lisan langsung ataupun dalam bentuk tulisan, misalnya dengan melakukan nasihat
/ kritik dengan tulisan.
⇛ Apabila tidak mampu juga, maka
dengan mendo'akan agar si penguasa segera turun / diganti dengan orang yang
lebih baik.
Iya, seorang penguasa muslim yang
berlaku lalim itu harus dido'akan agar segera turun / diganti, karena jika ia
dibiarkan terus berkuasa dan berbuat kezhôliman, maka itu artinya ia akan terus
menumpuk-numpuk dosa atas perbuatan zhôlimnya itu. Karena seperti telah
dijelaskan, penguasa itu sangat berpengaruh akan keadaan rakyat yang
dipimpinnya, dan ia menanggung dosa-dosa akibat kebijakannya yang zhôlim
tersebut.
📍 Makanya Imâm
al-Fudhoil ibn ‘Iyâdh رحمه الله pernah berkata:
لو أني أعلم أن لي دعوة مستجابة لصرفتها
للسلطان
(arti) “Seandainya aku tahu
bahwa aku memiliki do'a yang mustajab, maka aku akan gunakan untuk mendo'akan
penguasa.” [Atsar Riwayat Abû Nu‘aim al-Ashfahanî, Hilyatul Auliyâ’
VIII/77].
Jadi kalau punya do'a yang
mustajab, maka do'akan penguasa lalim yang masih muslim itu segera turun dari
kekuasaannya.
⇛ Namun apabila merasa dirinya
masih tak mampu juga, maka selemah-lemahnya îmân itu adalah dengan mengingkari
di dalam hati saja.
❓ Pertanyaannya: apakah sudah
sedemikian lemah dan tak berdayanya kah sehingga langsung pasang posisi
selemah-lemah îmân tersebut…???
Lucunya, ada sebagian yang pasang
posisi selemah-lemah îmân terhadap penguasa yang lalim namun sekaligus bersikap
begitu galak terhadap saudara sesama muslim yang berjuang menegakkan amar
ma‘rûf nahyi munkar. Kenapa ambivalen 180° seperti kaum Munâfiqîn…???
❤ Kita berdo'a:
رَبَّنَا
لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ
رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ
{robbanâ lâ tuzigh qulûbanâ ba‘da
idz hadaitanâ wa hab lanâ mil-ladunka rohmatan innaka antal-wahhâb}
(arti) “Wahai Robb kami,
janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri
petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi-Mu, karena
sungguh hanya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia).”
وصلى الله وسلم على نبينا محمد وعلى آله و
صحبه أجمعين
ver 20190705
Komentar
Posting Komentar